Sabtu, 16 Mei 2009

DP Terbaik Bulan April

Sabtu, 02 Mei 2009

Seminar Lingkungan Hidup @ Argawilis, STSI,22 April 2009

Pada awal bulan April lalu, KMPA mendapatkan undangan seminar lingkungan hidup dari kelompok pecinta alam Argawilis, sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI). Seminar ini bertujuan untuk Memperingati hari Bumi tahun 2009 , dilaksanakan bertepatan pada hari bumi (22 April 2009) di gedung GSG STSI, seminarnya bertemakan “Lingkungan Hidup dalam perspektif kebudayaan”. Selama ini, Argawilis memang diketahui selalu mengadakan event untuk memperingati hari bumi setiap tahunnya.
Seminar ini dhadiri oleh 3 pembicara yang berasal dari WALHI Bandung (Saya lupa nama mas2nya, aduh maaf ya mas…),STSI (bapak Arthur S Nalan, penulis naskah), dan dari Fakultas Desain dan Seni rupa ITB(Bapak Jakob Sumardjo).
Seminar dibagi atas 3 sesi dimana tiap sesinya diisi oleh 1 pembicara kemudian dilanjutkan dengan Tanya jawab.
Sesi pertama diisi oleh pembicara dari WALHI (Aduh, sekali lagi saya minta maaf karena lupa namanya…).Inti materi yang disampaikan bagus, dan sangat dekat sekali kenyataannya dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Bandung, yaitu konversi Lahan didaerah Bandung. Wacana ini sepertinya sudah sering kali kita dengar diforum-forum, berita, dan banyak media lainnya.Bagaimana efek alih fungsi lahan untuk pembangunan memberikan dampak yang sangat buruk terhadap keseimbangan alami kota Bandung. Contoh yang diberikan pada pembicaraan kali ini adalah perubahan suhu yang sangat kentara dirasakan didaerah Bandung Utara yang terus-terusan dibangun, sementara masyarakat sendiri juga tidak banyak yang mengetahui tentang perencanaan tata lahan kota dan tentang prosedur pemberian IMB (izin mendirikan bangunan)oleh pemerintah. Contoh terdekat lain diberikan oleh audience, yaitu rencana pembangunan didaerah hutan Babakan Siliwangi, hal yang mengancam oleh rencana pembangunan ini adalah hilangnya titik sumber-sumber mata air yang ada dilokasi hutan ini. Padahal selama ini, sumber-sumber mata air ini dimanfaatkan oleh warga disekitar Baksil untuk kehidupan sehari-hari mereka.Dampak negative lain tentu saja semakin berkurangnya lahan hijau di kota Bandung , sementara yang kita punya saat inipun sudah jauh dibawah standar yang seharusnya. Ada pertanyaan dari audiense yang menarik saya waktu itu. Inti pertanyaannya adalah, kenapa selama ini aksi protes terhadap alih fungsi lahan yang kita lakukan selama ini cenderung memojokkan pemerintah dengan izin-izin yang mereka berikan terhadap pengusaha, sementara tidak bisa dibantah kita juga menikmati hasil dari pembangunan ini.Opini-opini lain yang dilemparkan seperti kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam, pembangunan-pembangunan yang seolah-olah tidak ada batasan, dan beberapa opini lain. Beberapa kesimpulan yang diambil dari sesi pertama ini adalah : menyebarluaskan pemahaman tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam pada masyarakat (dan ini menjadi tanggung jawab personal tiap orang yang sudah memahami ilmunya, apalagi pencinta alam yang keberadaannya sangat terkait dengan kelestarian alam), membuat perencanaan pembangunan yang ramah lingkungan dan disiplin terhadap apa yang sudah kita rencanakan.Sedikit masukan, pembicaraan sepertinya akan lebih hidup dan interaksi jadi lebih terasa kalau materi disertai slide.
Sesi kedua diisi oleh bapak Jakob Sumardjo yang berasal dari FSRD ITB. Peserta seminar sebelumnya sudah dibekali oleh sebuah artikel dari beliau dengan judul “Hutan dan Kearifan Lokal”.
Pada pembukaannya, artikel ini bercerita tenang makna dan cara pandang masyarakat Indonesia terhadap hutan yang berbeda-beda. Secara umum , cara pandangnya dibagi atas keadaan geografis tempat tinggal masyarakat, yaitu dataran rendah, perbukitan, dan lading. Masyarakat dataran rendah cenderung hidup bersawah dan tidak menganggap hutan sebagai sesuatu yang harus dilestarikan. Untuk yang diperbukitan yang hidupnya berpindah-pindah, hutan sangat dibutuhkan karena perladangan mereka sangat tergantung pada kesuburan tanah. Sementara masyarakat didaerah pantai juga merupakan pelestari hutan karena mereka memperdagangkan hasil-hasil hutan dengan kecakapan berlayar mereka. Kerajaan-kerajaan di Indonesia dibangun atas basis pengetahuan ini. Ketika Indonesia mulai dimasuki kolonial, pola hidup Industri diberlakukan di Indonesia. Bagi colonial, Indonesia hanya dibutuhkan sebagai sumber bahan metah Industri negara mereka dan pemerintah colonial mengabaikan makna hutan yang telah tumbuh dalam diri masyarakat Indonesia.
Masalah yang terjadi kemudian adalah, cara pandang kolonial ini kemudian diteruskan oleh pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan. Hal ini semakin diperburuk karena ada kecenderungan negara dikendalikan oleh pemerintah dinegara Indonesia. Dimana kebijakan-kebijakan dikendalikan oleh pemerintah (yang sudah dipengaruhi oleh cara pandang luar) dan melupakan kearifan lokal rakyat setempat yang padahal sudah terbentuk ribuan tahun sebelum kedatangan koloni . Dan lalu terjadi titik balik cara pandang dalam membangun bangsa dan negara Indonesia yang sangat terkenal keberagaman budayanya dimana cara pandang ini dibangun oleh ekologi kehidupan dan bukannya sistem pengetahuan yang muncul sebagai refleksi pangjang lingkungan hidup yang empiric. Salah satu penyebab terjadinya titik balik ini adalah aktivitas dan pemikiran kaum intelektual Indonesia yang berpendidikan colonial barat yang membentuk negara dan pemerintahan Indonesia yang membangun dengan orientasi model negara Barat. Mekanisme pembangunan yang dilakukan mengabaikan kondisi empiric masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih agraris-hutan , sementara rakyat hanya bisa mengikuti, mematuhi, dan mempercayai para pemimpin yang diyakini lebih “terpelajar”
Bapak Jakob dalam artikel ini mewacanakan turning point paska kolonial. Beliau juga memberikan cara hidup yang arif dan ramah lingkungan seperti yang dilakukan oleh kaum dayak punai diKalimantan (Bagi yang tertarik dapat searching di internet untuk keterangan lebih lanjutnya).
Sesi ketiga dari seminar ini diisi oleh Bapak Arthur S Nalan dari STSI yang bertemakan nurani ekologis dan nurani panggung.Beliau mengaitkan cara hidup arif dan ramah lingkungan (nurani ekologis) yang tumbuh dari kesehariaan beliau bergelut dengan dunia panggung. Beliau menceritakan bagaimana ide-ide untuk panggung kemudian justru tumbuh dari alam.
Pada slidenya, beliau memberikan definisi nurani ekologis dan nurani panggung. Nurani ekologis : “ “pengetahuan dibidang ilmu-ilmu humaniora, khususnya etika yang mengutamakan keselamatan lingkungan, baik manusia dan makluk kain serta habitatnya.”, Nurani Panggung :”Pengetahuan dibidang-dibidang ilmu pertunjukkan, khususnya estetika yang mengutamakan realitas nilai-nilai yang memiliki maknawinya sendiri.”.
Lalu beliau juga memberikan beberapa filsafat lingkungan yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan untuk menjaga kelestraian lingkungan :
• Komperehensif
• Tekad Kuat
• Hidup secara spiritual
• Berorientasi kehidupam
• Memperhatikan kesehatan
• Toleransi terhadap fenomena transfisik
• Tanggung jawab individu
• Prihatin secara lingkungan
• Sadar secara politis
• Berhubungan dengan ekonomi dan kualitas kehidupan
• Sadar secara lingkungan dan ekologis
• Mengejar Kebijaksanaan
Seminar ini ditutup oleh pertunjukan music oleh musisi STSI. Pertunjukan musik ini sangat special karena alat-alat musik yang dimainkan merupakan hasil karya tangan sendiri dan terbuat dari barang-barang buangan. (Lagi-lagi saya lupa nama musisinya, aduh maaf…). Sang musisi memilih caranya sendiri dalam melestarikan lingkungan dan dengan cara yang sangat kreatif. Sang musisi sudah mendapatkan banyak penghargaan dan yang terbaru dari Thailand atas kreatifitasnya memanfaatkan barang bekas.
Sedikit banyak seminar ini memberikan beberapa ilmu baru bagi saya dan beberapa hal saya catat untuk direnungi. Semoga dengan acara ini semakin banyak orang yang mengerti pentingnya arti lingkungan hidup bagi kehidupan kita.Terima kasih sahabat di Arga Wilis!
(By : Maria Ulfa, G-226-XVIII)