Jumat, 06 November 2009

CATATAN PERJALANAN EVALUASI GL RC

The Second Commander in Action

By : Gede Bayu (GM-009-xviii)

Catatan perjalanan menuju tebing Sawarna


6 Agustus ‘09 Pukul 11.00 malam kami berangkat dengan sepeda motor, adapun orang-orang yang mengikuti kegiatan kali ini antara lain :

Rahman, Freden, Bayu (aku), Tetu, Sigit, Bryan, Bambang, Sani, Nda dan Yostal

Perjalanan kami mulai dari kampus ITB dengan menggandeng pasangannya masing-masing dan membawa beban masing-masing. Aku sendiri hanya membawa Carier dan tanpa menggandeng orang dengan membawa motor Giri karena motorku sedang mengalami sedikit gangguan. Kami berjalan beriringan dengan kecepatan yang lumayan tinggi, Sigit sebagai pemimpin perjalanan tahu betul cara mengatur irama perjalanan kami. Motornya yang tampaknya payah itu ternyata mampu berlari kencang tanpa seorangpun bisa menyalipnya. Ia sebut motornya yang tanpa spion itu dengan sebutan “belalang tempur”.

Perjalanan kami sangat membutuhkan kewaspadaan di jalan, karena selain beban yang berat yang masing-masing kami bawa, perjalanan di malam hari di sela-sela pengemudi lain yang mengendarai kendaraannya dengan ugal-ugalan terutama truk-truk yang membawa beban berat. Tentunya kami tidak mengharapkan hal-hal buruk akan menimpa kami.

Sekitar 40 menit sejak dari kampus ITB kami tiba di Pangandaran. Di sana kami berhenti sejenak dan menjemput salah seorang rekan kami, si Nda, dari Skygers. Setelah menunggu selama kurang lebih 30 menit, kami pun berangkat lagi. Kini aku menggonceng Nda karena kini jumlah motor ada 5 dan tim berjumlah 10 orang.

Perjalanan kian mengganas karena kami juga mengejar waktu agar cepat sampai di tempat menginap. Jika terlalu lambat, para pengemudi tentunya akan lebih terasa mengantuk.

Sampai di Sukabumi, motor Brian ternyata bannya pecah. Kami pun berhenti lagi dan istirahat bersama rombongan, sambil membeli minuman hangat yang diminum bersama-sama.

Kembali ke perjalanan, kini kami akan menuju penginapan di sebuah warung di pinggir jalan dekat Pelabuhan Ratu. Perjalanan kami sudah terasa melelahkan, dan mungkin tanpa kita sadari bahwa mata kita mulai setengah lilin. Akhirnya pukul 02.00 pagi kami sampai di warung tadi. Kamipun memesan minuman dan menyantap makanan ringan di sana.

Pukul 03.00 kami tidur bersama di garasi belakang. Walau berlantaikan semen yang kasar dan berlubang-lubang, kami selalu saja membawa matras kami yang lumayan empuk bila dipakai untuk tidur, tanpa alat yang satu ini di lapangan bagi kami benar-benar terasa menderita.

Hari ke-1 (happy and enjoy day)

Tanpa rasa nyenyak sedikitpun, demikian yang diakui semua teman-teman, akhirnya kami bangun tepat pukul 07.00 pagi. Dengan sedikit sarapan gorengan di warung dan minum kopi maupun teh hangat kamipun kembali ke formasi perjalanan.

Di tengah perjalanan kami melihat warung yang berdiri sendiri di pinggir pantai dan dikelilingi sawah. Suasananya sangat bagus, dan karena perut kami semua sudah kelaparan, kami pun singgah di sana.

Jalan terasa sepi, tak seperti di Bandung, setelah akhirnya kami sampai di Pelabuhan Ratu, barulah terasa seperti di perkotaan kembali namun hanya suasana laut yang terasa di setiap indera kami. Di Pelabuhan Ratu kami singgah untuk membeli logistik makanan, kami pun patungan, namun hanya Rp.200.000,- saja yang terkumpul waktu itu. Akhirnya kami sepakat untuk membeli secukupnya saja, kekurangannya akan dibeli di basecamp saja. Freden dan Rahman bergerak ke tengah pasar membeli sayur, buah dan ikan asin serta bumbu-bumbu secukupnya.

Pukul 10.00 kami bergerak lagi menuju pantai Sawarna. Perjalanan kali ini terasa sangat mengagumkan karena jalan-jalan di sini melewati tanjakan-tanjakan di tebing-tebing yang menjulang tinggi mengelilingi lautan, dari atas sana terlihat garis-garis pantai yang sangat indah ditambah ombak dan kapal-kapal nelayan yang menghiasinya.

Kini sudah menunjukkan pukul 12.00. Di sebuah tempat yang sangat bagus untuk melihat pemandangan lautan, kami bertemu lagi dengan tempat istirahat, kamipun singgah di sana karena sebagian dari sudah terasa lelah dan mengantuk. Dengan memesan kopi dan teh, dan tambahan ngobrol sambil berfoto bersama rasa lelah itu dengan sendirinya akan berkurang.


Kami bergegas kembali menerjang jalanan yang panjang, berliku, naik dan turun gunung. Perjananan kami kira-kira memakan jarak 225 kilometer, benar-benar sebuah perjalanan yang panjang apalagi dengan mengendarai sepeda motor. Maka tak heran dari kami nantinya akan merasa meriang-meriang karena serangan angin.

Pertama kami melewati jalanan kering dan berbatu, naik dan turun, di pinggiran jalan semak-semak tak lagi berwarna berwarna hijau, melainkan kuning karena debu-debu berterbangan.

Kira-kira 5 kilometer akhirnya kami gembira karena jalan kembali mulus. Namun karena jalanan berliku-liku dan banyak tikungan tajam, “Belalang Tempur” milik Sigit terperosok saat berbelok di tikungan yang sangat tajam, ironisnya karena saking terkejutnya, Rahman yang mengendarai motor juga terjatuh di belakang. Kami pun turun dari motor, cepat-cepat menolong Sigit yang terjatuh demikian juga Tetu yang digandengnya, namun Rahman yang terjatuh dibelakang langsung bangun dengan sendirinya, kami bukannya menolong, tapi malah menertawakannya karena tampak sedikit konyol bagi kami.

(Tapi pembaca jangan marah dulu, lihat saja Rahman sendiri ketawa-ketawa waktu itu menertawakan kekonyolannya)

Akhirnya kami sampai di sebuah tempat yaitu Desa Sawarna yang benar-benar terasa jauh dari kota dan suasana rantaunya sangat terasa kami rombongan anak-anak pecinta alam Ganesha ITB sampai di sana.

Rumah-rumah terlihat sangat sederhana dengan pagar bambu yang mengelilinginya namun tak cukup tinggi untuk menjaga dari maling. Di pinggir jalan terdapat banyak sekali pohon kelapa, di sela-selanya air laut yang berwarna biru menghiasi garis cakrawala serta angin laut yang berhembus benar-benar menyejukkan hari itu karena sebenarnya udara di atas sangat panas dan seharusnya membuat kami seperti cacing.




Kami terus menyusuri jalanan aspal yang kecil dan dihiasi semak-semak itu. Kami pun melihat papan kecil menunjukkan pantai ”Gua Langir” yang berarti gua kaki seribu, apakah di sini banyak ulat kaki seribunya kami juga tak tahu…..

Pk.14.00 WIB, Kami tiba dan langsung mendirikan flysheet yang besar untuk menahan laju angin yang begitu kencang, selain itu kami juga mendirikan tenda untuk semua peralatan logistik agar tidak basah jika tiba-tiba turun hujan.

Pertama …… saatnya membawa surat jalan ke pak RT/RW setempat…

Aku dan Rahman ditemani Sani akhirnya sampai di rumah pak RT yang sangat sederhana berupa gubuk. Namun saat itu hanya ada istrinya saja, dan kami pun titipkan saja kepadanya. Dan kami langsung saja balik ke basecamp tercinta.

Dalam teknis lapangan kami, sore ini kami tidak ada kegiatan sehingga beberapa dari kami berniat untuk jalan-jalan. Aku, Freden, dan Rahman ingin mandi di pantai, sedangkan yang lainnya ingin memancing entah ke mana.

Ternyata Sigit sudah membawa mata pancingnya dari rumah plus benang nylonnya, namun belum siap dengan kailnya, terpaksa deh mereka mencari bambu saja. Akhirnya kami pun berpisah dengan masing-masing kesibukan kami.

Air di pantai benar-benar terasa hangat dan tenang waktu itu. Rahman nggak berani mandi, nggak tahu kenapa padahal sudah kami ajak, dan akhirnya hanya aku dan freden saja yang mandi di pantai sedangkan Rahman berjemur saja sambil menulis-nulis puisi di atas pasir pantai.

Setelah capek kami bertiga tertidur pulas di basecamp, angin pantai benar-benar terasa di semua permukaan kulit kami. Tanpa berkata-kata kami langsung tertidur melepas sejenak kelelahan kami, mungkin kami tak sempat bermimpi saat itu.



Hari ke-2 (sosped day)

Pagi-pagi pukul 05.00 atas instruksi ketua perjalanan, bang freden, kami semua bangun pagi. Pagi itu terasa benar-benar dingin di tambah angin yang berhembus sepoi-sepoi di kulit kami membuat kami susah sekali bergerak, Bryan pun tertidur lagi, namun kali ini ia pindah ke pantai yang lebih dekat ke air, mungkin kekurangan angin ya bri??

Kami pagi itu rencananya pindah base camp ke rumah pak RT, kira-kira pukul 06.00 kami bergerak packing semua logistik termasuk tenda dan flysheet. Dalam waktu kurang dari 1 jam kami sudah bereskan semuanya, dan kami pergi berangkat ke rumah pak RT yang nggak jauh dari sana.

Rumah itu sederhana, terbuat dari anyaman bambu, namun kami akhirnya senang karena kami tidak akan masuk angin lagi malam ini. Di samping rumah itu, berdiri rumah kedua orang tua pak RT, emak dan abah sudah sangat tua namun masih sangat kuat dalam bekerja dan tampak sehat-sehat saja.

Pagi itu Freden tampak pucat, mungkin karena masuk angin dan kelelahan dalam perjalanan kemarin malam. Akhirnya kami memutuskan untuk menyuruhnya beristirahat saja, kasihan juga pak ketua kita kali ini….

Jadwal hari ini adalah sosialisasi pedesaan ke kantor desa untuk menemui pak Kades. Kami telah bersiap membawa alat tulis kami, pulpen dan kertas kosong. Yang berangkat adalah Aku, Rahman, dan Tetu dengan 2 buah sepeda motor.

di tempat yang berbeda, Brian, Sani, dan Nda melakukan survey jalur belakang tebing-tebing untuk mendapatkan informasi tentang kondisi di atas sana dan mencari jalan ke luar seandainya tidak bisa rapelling dari atas.

Kira-kira pukul 08.30 kami menuju kantor desa, yang berjarak kurang lebih 1 km dari rumah Pak RT. Pagi itu benar-benar cerah dan sangat menyegarkan.

Sayang sekali…. setelah sampai di Kantor Desa tidak ada orang yang kami cari, yang ada hanya petugas hansip saja. Katanya pak RT sedang di luar desa, namun ia berpesan bahwa di sebelah tukang jahit tak jauh dari sana ada rumah pak lurah yang juga bisa ditanya-tanya seputar desa Sawarna.

Akhirnya kami beranjak pergi tak lupa ucapan terima kasih buat pak Hansip yang tegap itu. Dan akhirnya kami melihat ada tukang jahit yang tampak sedang sibuk bekerja di tokonya di pinggir jalan. Lalu kami tanya tentang pak Lurah tadi, eh sekarang pak Lurah juga malah nggak ada di sana.

Jadwal sudah tersusun rapi bahwa pagi itu kami harus sosped. Tak ada pilihan lain sebagai backup kami iseng-iseng aja nanya ke pak tukang jahit itu dan langsung mengutarakan maksud kami bahwa kami hanya ingin mengetahui seputar Desa Sawarna yang rencananya akan kami publikasikan ke luar. Dan ia pun dengan senang hati menjawab-jawab pertanyaan-pertanyaan kami, begitu juga Rahman langsung sigap mengambil Pulpen sambil mencatat hal-hal penting yang bisa ditangkap.

Beberapa hal yang kami tanyakan adalah mengenai : penduduk sekitar, mata pencaharian, kondisi sosial-ekonomi, pendidikan, budaya, dan pariwisata. Lumayan juga kan, seandainya lain waktu kami tak berjumpa dengan pak kades atau pak RT.

Kami langsung kembali ke basecamp, dan menunggu sore hari untuk jadwal berikutnya yaitu dokumentasi tebing dengan tujuan untuk dipublikasikan ke luar termasuk PA-PA.

Pukul 13.00, Waktu itu si Giri datang dengan membawa motorku yang kita tukar kemarin. Untung saja motor itu masih mantap larinya, tak kusangka dia sampai juga di sini.

Singkat cerita waktu sudah menunjukkan pukul 15.00. Aku, Rahman, Tetu, Sani, Nda, Yostal, Brian, Giri, dan Bambang berangkat menuju Pantai Goa Langir dengan membawa total 3 buah kamera. kami berencana memfoto tebing-tebing itu dari awal di Goa Langir sampai kira-kira 400 meter ke arah barat. Kami mencari-cari tebing yang kira-kira berpotensi untuk dapat dipanjat baik dengan artifisial ataupun untuk tujuan sport saja.

Maka langsung saja aksi dilakukan oleh Sani, Yostal, dan si Giri. Kami berjalan bersama-sama sampai ke ujung, melewati banyak rintangan tanaman berduri, batu-batu yang lumayan besar-besar, tanjakan dan turunan namun tak terlalu berat.

Di awal-awal dokumentasi kami melihat sebuah gua yang terletak persis di bawah tanah. Dan sepertinya menarik minat kami untuk menengok ke dalam gua itu walau dengan peralatan yang sederhana hanya dengan senter hanphone kami. Dan…. Setelah kami masuk……

Waw…… ternyata proses pembentukan stalagmit dan stalagtit gua itu masih baru alias muda. Kristal-kristal yang sangat indah banyak bertaburan di dalamnya, itu pertama kalinya aku dan mungkin kami semua melihat proses pembentukan gua yang masih sangat muda.

Di sela-sela dokumentasi kami, si Nda juga banyak mencoba-coba jalur untuk dipanjat namun tidak terlalu tinggi.

Satu lagi jadwal kami yang tak kalah pentingya yaitu survey jalur yang akan kami lewati besok…. Mmmm…. Dengan banyak pertimbangan oleh kami, terutama karena kami para GL belumlah bisa dikatakan pemanjat yang professional, namun baru sebagai pemula, yang perlu lebih banyak belajar lagi. Dan kami pun memilih 2 jalur …..

Hari ke-3 (climbing day)

Pagi itu kami bangun pukul 05.00, lalu mengoperasikan trangia kami untuk membuat air panas agar badan kami bisa sedikit bergerak.

Pukul 08.00 kami sudah beres racking alat-alat dan ternyata kami belum membeli bekal makanan untuk dibawa manjat. Aku dan Rahman waktu itu ke luar membeli malkist dan aqua 600mL plus extrajoss 2 sachet.

Dan kami berangkat menuju tebing di Pantai Goa langir ……

Sewaktu kami sampai air agak pasang sehingga kami mesti memotong jalan lewat hutan-hutan di pinggiran pantai. Pagi itu sangat cerah, pemandangan di sekitar sana benar-benar indah, pinggiran pantai berbatu-batu, dan ditemani banyak pohon-pohon yang hijau lebat.

Kami sampai di lokasi pemanjatan yang pertama, pertama-tama kami merapikan alat-alat dan racking lagi…..

Rencana kami membagi jalur yang tingginya kira-kira 30 meter ini menjadi 2 pitch. Pitch 1 kira-kira 10 meter di atas pasir, dan pitch 2 di top. Jalur terlihat menantang dan kami semua tampaknya menyukai jalur yang satu ini. Kemarin jalur ini direkomendasikan oleh sani.

Ini adalah jalur pemanjatan kami….. tingginya kurang lebih 35 meter……

Setelah semua alat terpasang dengan sempurna di badan kami masing-masing, lalu kami berdoa sejenak semoga selalu dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan kekuatan alam yang ada di tempat ini yang jauh melebihi kekuatan manusia.

Leader pertama adalah aku, Jumarer adalah Rahman, dan cleaner adalah Tetu. Pada mulanya batu-batu di tebing itu tampak biasa-biasa saja, namun setelah kupegang ternyata batu itu benar-benar rapuh, tak kusangka batu-batu besar juga sangat mudah lepas. Sehingga Tetu yang ada di bawah pun mesti siaga karena batu-batu tajam itu berjatuhan dengan cepat dan tiba-tiba.

Situasi makin kacau….. kini akupun kebingungan memasang pengaman, karena dari pengamatanku tak ada tempat yang bagus untuk memasang pengaman yang tepat, dan parahnya lagi setiap batu yang kupegang runtuh begitu saja. Begitu juga setelah aku pasang piton di sebuah celah, nampakanya celah itu akan terbelah dan batu sebesar badan manusia siap-siap jatuh menimpa rekan-rekan di bawah, akhirnya kucabut lagi daripada temanku celaka di bawah sana. Akupun berusaha bertahan sejenak dan beristirahat, pengaman pertama yang kupasang adalah hexentrik kecil, dan aku sudah naik kira-kira 3 meter dari pengaman pertama tadi namun belum juga ada tempat pengaman kedua.

Akhirnya, walaupun sedikit ragu, ada celah kecil yang akhirnya dapat aku pasang “blade”. Namun tampaknya sangat tidak aman, akhirnya kutambah 1 blade dan 1 piton lagi. Setelah rasanya aman, aku terus naik lewat jalur yang direncanakan sejak awal. Namun di sini batu-batunya lebih parah lagi, benar-benar rapuh, tak ada tempat pengaman dan tak ada tempat pegangan. Pikiranku benar-benar kacau waktu itu, aku belum pernah mengalami hal ini sebelumnya di tebing, dan saat itu aku hanya terdiam dan istirahat.

Akhirnya ada suara dari bawah, “lewat kanan aja!!”. Dan aku ingat ada sebuah jalur lain di kanan yang mungkin dapat dilewati dengan lebih mudah. Namun aku berusaha tenang sebentar sebelum aku menyeberang ke sebelah kanan. Dalam jalur kanan diperlukan teknik memanjat yang lain yaitu 1 x teknik ganti kaki, dan 1 kali pull up. Namun tak semudah yang dibayangkan, ternyata batu-batu juga masih banyak yang runtuh, tapi berhasil aku lewati dengan hati-hati.

Dan setelah mendapat tempat yang agak datar kami membuat pitch di sana. Di sebuah pohon yang agak besar, aku memasang sistem kebanyakan di sana, sisanya sebagai backup aku pasang dengan piton di tebing. Akhirnya rahman dan tetu berhasil sampai di pitch 1, tanpa ada alat yang tertinggal namun tetu sedikit terluka tampaknya di kakinya, sampai-sampai celananya sedikit robek. Dan sayang sekali kami lupa membawa betadine, sebuah pelajaran besar buat kami dalam pemanjatan selanjutnya.

Sehabis minum extrajoss dan air mineral kami melanjutkan pemanjatan ke top. Kembali aku sebagai leader, Rahman jumarer, dan Tetu cleaner. Dari pitch 1 ini terlihat 2 jalur, kiri dan kanan. Akhirnya kami kuputuskan memilih jalur kanan karena jalur kiri kerapuhan batunya tampak lebih parah, saat itu aku dan teman-teman tampak sudah kehabisan mental dalam menghadapi batu-batu itu. Mungkin suatu saat akan kami hadapi setelah mempunyai lebih banyak ilmu lagi, kini aku kembalikan dan fokuskan ke tujuan kami yaitu “memantapkan ilmu artificial dan referensi tebing”.

Dalam pemanjatan menuju pitch 2 kami kembali bertemu dengan batu-batu yang rapuh lagi. Setiap batu yang kupegang dan kuinjak selalu saja ada yang rapuh, sampai-sampai Tetu terluka karena wajahnya terkena batu di bawah sana, beruntung tidak terlalu parah apalagi kami tidak membawa P2. Sampai-sampai setiap batu besar-besar yang akan jatuh aku buang ke arah timur (karena ku lihat di barat tidak ada orang di bawah sana), pikirku kalau sampai benda ini jatuh dan mengenai temanku dibawah sana pasti akan celaka. Karena tidak main-main batu seberat 10-15kg juga siap-siap menimpa orang di bawah, bahkan ada sebuah batu sebesar manusia manusia yang kupasangi piton tampak akan runtuh dan terbelah….ckckckkck….. dan untungnya ada beberapa akar-akar pohon besar yang dapat aku gunakan untuk memasang pengaman yang baik.

Sampai pitch 2 kembali aku menginstalasi pengaman-pengaman di akar pohon yang besar dan berhasil mengantarkan Rahman dan tetu ke atas. Kini kami bertiga merasa bahagia karena berhasil sampai di atas sana. Sedikit ngobrol-ngobrol sambil melihat pemandangan pantai yang indah dan makan camilan dan minum air sudah cukup buat merayakan. Setelah semua instalasi dilepas, kami pun lalu mencari jalan turun untuk rappelling, namun semua jalur tertutup dengan pohon dan pandan berduri. Akhirnya kami pun kebingungan lagi, satu yang pasti setelah kami bertiga diskusi di atas bahwa setelah turun kami tidak naik ke jalur ke-dua karena kami memepertimbangkan kondisi fisik dan mental kami yang sudah turun sejak tadi.

Satu pelajaran besar lagi, “jangan lupa untuk membeli pulsa dan operator yang tepat”. Waktu itu kami lupa membeli pulsa untuk komunikasi, dan GSM yang paling bagus sinyalnya di tempat itu adalah XL dan Telkomsel. Saat itu aku membawa kartu XL namun hanya berisi beberapa kali sms saja. Kami baru menyadarinya saat di atas sana.

Akhirnya kami berteriak memanggil-manggil orang di bawah, berharap mereka mendengar. Waktu itu Sigit yang melihat kami di atas sana memanggil-manggil. Namun suara kami tak terdengar juga karena angin yang begitu kencang meniup gelombang suara kami. Akhirnnya kami memakai bahasa isyarat yang menyuruhnya menelepon kami, untung saja dapat dimengerti olehnya. Dia pun menelfon dan menanyakan kabar kami dan menanyakan apa rencana selanjutnya. Aku pun berkata lewat telfon, “kami tidak memanjat jalur ke-2 setelah ini pak, dan tolong jemput kami lewat jalur belakang karena kami tidak yakin berhasil kalau kami melakukan rappelling”. Dan dia pun menyuruh kami diam di atas sana, menunggu bantuan datang. Pemanjatan itu memakan waktu kurang lebih 3.5 jam.

Beberapa saat kemudian Brian, Bambang, dan Pak RT datang menjemput kami lewat jalur belakang. Oleh mereka, kami pun diajak melewati hutan-hutan yang penuh dengan semak-semak yang terasa gatal dan ditutupi hutan jati. Ada jalan setapak yang tembus di jalan aspal, dan semuanya menunggu kami di sebuah warung di pinggir jalan.

Mereka semua tersenyum dan tampak senang melihat kami bertiga. Namun wajah kami semua pucat dan sedih. Entah kenapa, mungkin kami merasa mengecewakan mereka karena tidak melewati jalur yang seharusnya. Mereka memberikan semangat kepada kami dan mengajak kami beristirahat dan minum es sirup sejenak, terutama bang Freden, ketua perjalanan kita.

.

Setelah semuanya selesai bersantai dan alat-alat kami sudah dipacking, kami mendapat tawaran jalan-jalan dari pak RT untuk melihat kondisi pantai di tempat lainnya. Dan tentunya kami sangat senang menerima tawaran itu. Kami pun langsung saja mengkondisikan formasi mobilisasi.

Kami menuju ke arah barat, dan sampai di sebuah hutan produksi jati. Dari sana kami berjalan menuju pantai dan seperti biasa melewati hutan-hutan pandan berduri sebelum akhirnya tiba di pantai.

Ternyata di tempat ini juga ada gua.

Setelah puas berjalan-jalan di pinggir pantai dan gua, kami langsung balik ke basecamp. Sore itu kami mendapat tawaran untuk bertemu dengan pak kades di Balai Desa, kebetulan sekali pak kades sudah pulang dari urusannya di luar. Kami pun segera setuju sebab masih banyak kekurangan mengenai sosialisasi pedesaan kami kemarin.

Setelah selesai makan dan mandi, aku, Rahman, Tetu, Freden, dan didampingi Giri dan pak RT, kami langsung berangkat ke Kantor Desa Sawarna. Kami bertanya-tanya tentang berbagai cerita menarik mengenai Sawarna, seperti mata pencaharian penduduk, ekonomi pedesaan, budaya, pariwisata, serta kebijakan pemerintah desa untuk Desa Sawarna. Pak kades tampaknya sangat gembira dengan kedatangan kami dan ia bercerita dengan antusias dan menjelaskan secara detail apa yang kami tanyakan, namun kami sedikit canggung tampaknya, mungkin ini pertama kali kami wawancara dengan orang penting di Sawarna. Dan akhirnya wawancara ditutup karena kami sudah tampak puas dengan cerita pak kades.

Singkat cerita kami sampai di basecamp dan langsung mengadakan evaluasi kegiatan hari ini dan briefing buat kegiatan besok. Rapat malam itu aku pimpin dan mula-mula kita mengevaluasi kegiatan inti kami. Aku menjelaskan apa saja yang kami lakukan tadi. Mulai dari tertinggalnya P2 dan kehabisan pulsa, sampai gagalnya rapeling, kakak-kakak kami pun membantu menambahkan apa yang kurang.

Setelah evaluasi, kami pun mengadakan briefing buat kegiatan besok. Dan kembali hasil briefing kami bahwa besok kami akan pulang ke Bandung dan tidak ada kegiatan pemanjatan lagi. Selain itu, dokumentasi tebing-tebing dan wawancara pun sudah beres, jadi kami rasa tidak ada yang perlu untuk dilakukan lagi.

Dan briefing malam itu juga menghasilkan rencana untuk membelikan abah dan emak serta pak RT oleh-oleh dari kami sebagai ucapan terima kasih kami karena kami telah dirawat di sana kurang lebih 3 hari. Dan omong-omong selama kami tinggal di sana emak lah yang memasakkan kami makanan 3 kali sehari, selain masak, camilan gadung yang dibuatkan emak di waktu senggang juga adalah cermin kebaikan hati yang mendalam. Mungkin kami semua sudah dianggap mereka sebagai anak sendiri. Demikian juga dengan pak RT yang banyak memberi kami informasi dan banyak bercerita tentang Desa itu.

Esok paginya kami langsung ke Desa Bayah, sebuah Desa di luar Desa Sawarna dan lebih terasa suasana kotanya. Sebelum tiba di Bayah kami melewati hutan Jati yang panjang, lalu melihat tempat wisata pantai yang ramai dikunjungi wisatawan. Di Bayah, kami mencari sebuah toko untuk oleh-oleh tersebut, dan benar ternyata ada sebuah toko indomaret di sana. Kami langsung membeli indomie 1 dus plus minyak goreng.

Kami kembali lagi ke rumah abah dan emak. Kami pun berpamit dengan mereka dan tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mereka.


Selesailah perjalanan kami ke tempat yang sangat menawan dan menyimpan rasa rindu ini. Kami takkan pernah melupakan setiap hembusan angin yang menerpa kami, setiap tebing yang melukai kami, dan setiap ombak yang membasahi kami. Ini adalah sebuah tempat yang bisa menyaingi bahkan melebihi indahnya pantai kuta di bali atau indahnya tebing di padalarang sana.

Selesai semua urusan di Sawarna. Kami kembali ke formasi perjalanan jauh. Kali ini kami mengendarai motor kami dengan santai-santai saja sambil enjoy melihat pemandangan indah di pinggir jalan yang kami lewati.

Tapi kegitan senang-senang kami belum berhenti sampai di sana. Saat sampai di pelabuhan Ratu kami sempat membeli ikan bakar dan berpesta bersama di pinggir pantai. Benar-benar nikmat karena sejak kemarin kami ingin sekali makan ikan bakar namun tidak ada ikan yang berhasil kami temukan.

Pukul 15.00 wib Kami melanjutkan perjalanan setelah kekenyangan dan beristirahat sebentar. Perjalanan semakin dipercepat karena kami juga tidak ingin sampai di bandung terlalu malam.

Sekian perjalanan kami yang menempuh kira-kira 450 kilometer itu. Perjalanan yang begitu jauh namun adalah sangat mengesankan buat kami.

We are KMPA Ganesha ITB….

Take nothing but pictures

Leave nothing but footprints

And kill nothing but time

THE END

Analisis lingkungan hidup :

Kondisi tebing karst yang ada di Sawarna jika dilihat dari jenis batuannya mirip dengan yang ada di daerah padalarang, Jawa Barat. tempat di mana telah terjadi eksploitasi penambangan bahan baku berupa batuan karst secara besar-besaran untuk berbagai keperluan dan kebutuhan manusia seperti industri, lantai, dan kerajinan-kerajinan. Dan seperti yang telah terjadi saat ini di Padalarang, tebing-tebing tersebut tinggal menunggu waktu untuk menemui ajalnya hingga rata dengan tanah.

Tebing di tempat ini sudah semestinya dijaga kelestarian dan keberadaanya oleh masyarakat sekitar pada khususnya dan masyarakat luas terutama wisatawan pada umumnya. Apalagi yang bisa kita lakukan untuk mencegah kerusakan lingkungan selain dengan membuat undang-undang yang tegas agar tidak terjadi kerusakan di tempat yang sangat indah ini. Seandainya terlambat untuk melakukannya, maka sudah tak diragukan lagi suatu saat eksploitasi besar-besaran akan terjadi di sawarna karena kebutuhan manusia yang tidak mungkin berkurang akan bahan tambang.

Potensi wisata gua di tempat ini pada waktu dekat memang tidak terlalu besar. Namun bayi-bayi stalagtit dan stalagmit yang baru terbentuk pada suatu saat akan dapat menunjukkan keindahannya pada kita. Bahkan pada saat ini, stalagtit dan stalagmit tersebut sudah dapat dilakukan penelitian terhadapnya sebagai suatu proses awal pembentukannya.

Pantai yang bersih dan bebas sampah plastik di Desa sawarna merupakan sebuah contoh yang baik dari sebuah masyarakat yang hidup jauh dari perkotaan untuk kita. Kita ini, masyarakat yang hidup sebagai pengotor lingkungan kita sendiri sudah seharusnya mengerti akan pentingnya hidup yang bebas dari sampah yang berserakan.

Kondisi air yang sulit di tempat ini membuat orang-orang desa harus selalu berhemat akan air bersih yang mereka gunakan. Ini juga merupakan sebuah contoh nyata dan pelajaran buat kita yang selalu membuang-buang air dengan seenaknya dengan terus menyerapnya dari dalam tanah.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

keren gan.. semangat terus buat eksplor tempat2 laen..
yap.. we are Ganesha..