Selasa, 25 April 2006

[Cakrawala-Maret2006] Mereka Adalah Kowak-malam Kelabu

sumber gambar

Beberapa bulan terakhir warga ITB dibuat bertanya-tanya tentang siapa gerangan yang membuat jalanan menjadi putih dan tercium bau anyir tak sedap di sekitar Jalan Ganeca. Bagi orang-orang yang memperhatikan, pasti langsung menyadari bahwa cairan putih itu dihasilkan oleh burung-burung besar yang melintasi Jalan Ganeca dan kampus ITB. Pertanyaan 5W+1H kemudian mulai terlontar: Siapa mereka? Mengapa mereka di sini? Sejak kapan mereka ada di sini? Di mana tempat tinggal mereka? Bagaimana mereka hidup? Let’s check it out!

Mereka adalah burung Kowak-malam kelabu (Nyticorax nyticorax). Burung ini dapat diamati dengan mata telanjang tanpa harus menggunakan alat bantu seperti teropong, karena ukuran tubuhnya yang relatif besar. Panjang tubuhnya bisa mencapai 60 cm, dengan kepala yang besar, tubuh yang kekar, dan warna bulu hitam, abu-abu, dan putih. Untuk jenis dewasa burung ini memiliki mahkota hitam serta bulu putih di bagian dada dan leher.

Burung ini biasa memakan kadal, tikus, atau ikan, namun juga mempunyai sifat kanibal. Mereka disebut juga Kowak maling karena kegemarannya mencari dan memakan anak burung jenis lain. Jadi jangan heran kalau tiba-tiba Kamu melihat potongan ikan atau anak burung di tengah Jalan Ganeca atau sekitar kampus. Kemungkinan itu adalah hasil gondolan mereka yang terjatuh.

Berdasarkan hasil wawancara Kami dengan Bapak Rohman Suryaman – staf kurator burung Kebun Binatang Bandung (KBB) – pada hari Sabtu (25/02/06), Kowak-malam kelabu pertama kali dibawa ke KBB sekitar tahun 1990, tepatnya berjumlah tiga ekor. Mereka kemudian diberi kandang yang cukup luas dan makanan yang baik. Karena kondisi tempat tinggal dan makanan yang menunjang, burung-burung ini kemudian berkembang biak dengan sangat cepat. Pada tahun 1993 populasi Kowak di KBB berjumlah sekitar 75 ekor.

Karena kondisi kandang yang sudah tidak memungkinkan menampung burung Kowak sebanyak itu, pihak KBB berniat melepaskan sebagian dari mereka ke alam. Dalam dua periode, sebanyak 45 ekor burung Kowak dipindahkan ke kandang terbuka dan disatukan dengan burung-burung jenis bangau-bangauan lain seperti Bangau tong-tong. Sebelum benar-benar dilepas di alam, mereka diperkenalkan dengan kolam ikan, rumput, dan pohon-pohon. Itulah alasan mengapa burung-burung itu dipindahkan ke kandang terbuka terlebih dahulu. Dengan sendirinya mereka akan pergi ke dunia luar, dunia yang sesungguhnya. Namun pelepasan burung-burung ini bukanlah tanpa tanggung jawab. Pihak KBB menyediakan 17 kg ikan per hari di kolam, khusus untuk burung Kowak yang belum bisa mencari makan sendiri atau burung Kowak yang ‘malas’ mencari makan.

Beberapa tahun kemudian populasi Kowak di alam juga meledak. Selain sistem reproduksinya yang relatif mudah dan cepat, sifat Kowak yang suka menjelajah juga berperan dalam overpopulasi ini. Keberadaan Kowak di wilayah ini ternyata mengundang Kowak dari wilayah lain untuk menetap dan berkembang biak di wilayah ini.

KBB kemudian menghentikan suplai makanan untuk Kowak, salah satu tujuannya adalah menekan populasi mereka di alam. Burung-burung ini kemudian mulai menginvasi wilayah yang lebih jauh untuk mencari makan, mulai dari Taman Ganeca sampai daerah Ujung Berung. Ternyata bukan hanya masalah makanan yang membuat pihak KBB bingung, karena ternyata kotoran mereka – yang berwarna putih – dapat merusak tumbuhan yang dikenai. Kotoran burung Kowak bersifat panas, dapat merusak jaringan tumbuhan, pH tanah, dan mungkin bisa saja merusak benda-benda lain seperti body mobil.

Upaya-upaya KBB tidak sebatas menghentikan suplai makanan, tapi mereka juga melepaskan tiga ekor Elang ruyuk ke alam. Elang ruyuk akan berperan sebagai predator yang akan memangsa Kowak, dan akhirnya ‘mengusir’ mereka. Metoda ini tidak efektif, terbukti dari masih meledaknya populasi Kowak di KBB. Kegagalan upaya ini kemungkinan disebabkan oleh kurang ‘buas’-nya sang elang. Elang-elang ini merupakan hewan bekas peliharaan manusia yang mungkin naluri predasinya sangat rendah atau limit mendekati nol.

Upaya lain yang dilakukan oleh KBB adalah memasang misnet (semacam jaring yang dipasang di atas pohon) di area dekat gerbang KBB. Upaya ini dilakukan pada tahun 2003 dan bekerjasama dengan pemanjat tebing dari salah satu organisasi Pencinta Alam di UNPAD. Diharapkan burung-burung Kowak akan terjaring dan kemudian dapat ditindaklanjuti. Namun metode ini juga mengalami kegagalan dengan fakta jumlah burung yang terjaring sama dengan nol.

Upaya terakhir yang dilakukan adalah membuat ‘kokoprak’. Kokoprak adalah alat pengusir burung yang terbuat dari kaleng-kaleng bekas dan tali tambang panjang. Kaleng-kaleng dipasang di atas pohon dan tali tambang dibuat menjuntai sampai permukaan tanah. Jika tali tambang digoyang, kaleng-kaleng bekas di atas pohon akan menimbulkan suara sehingga dapat menakut-nakuti Kowak. Upaya ini cukup berhasil, minimal untuk satu periode waktu. Untuk beberapa bulan mereka sempat menghilang dari wilayah KBB dan tinggal di daerah PINDAD (Kiaracondong). Namun setelah interval tersebut mereka kembali bermukim di KBB. Walaupun kurang efektif, usaha ini merupakan senjata pamungkas, terbukti dari masih dipakainya metoda ini sampai sekarang.

Bicara tentang burung Kowak memang tidak akan ada habisnya. Semua pihak yang merasa dirugikan akan bertanya-tanya bagaimana cara menghilangkan burung ‘ee putih’ ini tanpa merugikan pihak manapun termasuk burung Kowak itu sendiri. Sampai saat ini para peneliti dari ITB masih melakukan penelitian terhadap burung ini guna mewujudkan tercapainya solusi terbaik yang dimaksud. Kita sebagai ‘korban’ diharapkan terus berhati-hati mengingat masih berkembangnya isu flu burung di indonesia. Trus, ngapain dong tulisan ini dibuat? Yah… just let you know… :) [Rima – G 195 XIV]

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Very nice site! »