Jumat, 16 Maret 2012

CATPER SIMULASI EKSPEDISI DI SIBESI



By Dinda Prayunita

Senin, 4 Juli 2011
          Perjalanan dimulai dari terik matahari yang menyengat waktu kami mempersiapkan semua kebutuhan perjalanan mulai dari makanan, shelter, sampai logistik pendukung pengambilan data untuk simulasi ekspedisi hari ini ke Pulau Sebesi, Lampung Selatan. Sampai sore hari akhirnya semua barang-barang yang tadinya berantakan di atas ponco, sekarang sudah tersusun rapi di dalam carrier. Setelah yakin tidak ada yang tertinggal, kami lekas berdoa dan segera berangkat menuju terminal bus leuwipanjang. Kami berusaha untuk menekan biaya transportasi agar sesuai dengan apa yang telah direncanakan, usaha itu terlihat dari pertimbangan yang cukup alot saat menawar-nawar harga dengan supir angkot. Akhirnya dengan tidak hanya sekedar memikirkan harga yang cukup murah tetapi efisiensi waktu yang didapatkan, kami memilih menyarter angkot menuju terminal bus. Sampai terminal, hari sudah cukup gelap, dengan carrier yang kami bawa kemana-mana, saya dan Bella berperan sebagai “preman terminal”, sedangkan yang lainnya mencari makan. Tidak menunggu cukup lama, ternyata bus yang kami tunggu “Arimbi” sudah ada, dan setelah pendekatan dengan kenek bus disana, kami sangat dibantu untuk mendapatkan tempat di dalam bus dengan mudah. Dua baris terbelakang menjadi tempat kami selama lebih kurang 5 jam kedepan menuju Pelabuhan Merak, Banten. Tidak banyak yang kami lakukan di dalam bus, mungkin karena kami yang terlalu lelah malam itu.
Selasa , 5 Juli 2011
                Sekitar pukul 02.00, kami sampai di pelabuhan Merak dan segera menuju tempat perahu bersandar. Tiket seharga Rp 11.500 sudah di tangan, kami pun menuju tempat duduk kelas ekonomi. Walaupun keadaan kapal saat itu tidak terlalu ramai, kami duduk terpisah antara di kursi kelas ekonomi dan deck atas. Perjalanan dari pelabuhan Merak menuju Bakauheni berlangsung selama 3 jam.
                Sampai di pelabuhan Bakauheni, rasanya sangat berbeda. Mungkin benar kata orang-orang jika orang Lampung berwatakan kasar karena seturunnya kami dari kapal banyak joki yang menawarkan angkutan dengan memaksa . Kami memutuskan berbelanja sayuran terlebih dahulu di pasar dekat pelabuhan.  Terjadi tawar menawar harga ketika akan men-charter angkot menuju pelabuhan Canti. 2,5 jam perjalanan menuju pelabuhan Canti dengan suasana jalan yang sepi ditambah keadaan perut yang kosong membuat kami semua tertidur. Diperjalanan, ban angkot bocor sehingga perjalanan sedikit tersendat. Tapi semua itu tidak berarti apa-apa karena pemandangan pantai yang indah sudah terlihat dari sisi jalan dan menemani perjalanan kami menuju Canti.
                Hiruk-pikuk khas pasar terjadi pula di pelabuhan Canti. Pisang dan kelapa diturunkan dari kapal dan segera diperdagangkan. Kami menanyakan kedatangan kapal menuju Pulau Sebesi, dan ternyata kapal baru datang sekitar pukul 2 siang. Apa boleh buat kami menunggu sekitar 5 jam di Canti. Sekedar bersenda gurau dan tak lupa mengisi perut kami lakukan sambil menunggu kapal datang. Setelah kapal datang, ternyata kami harus menunggu dulu barang muatan dinaikkan ke atas kapal. Suasana tersebut sangat berkesan bagi kami, ketika semua orang bahu membahu menaikkan muatan dengan suasana panas yang menyengat.
                Hamparan lautan yang luas dan desir ombak membawa 2 jam kami di atas kapal tidak terasa membosankan. Kebesaran tuhan yang baru kami sadari ketika melakukan perjalanan. Pulau Sebesi sudah nampak di depan mata, kebanggan yang luar biasa ketika bisa mengunjungi pulau orang dengan teman-teman yang luar biasa. Sampai di pulau Sebesi, kami segera menuju rumah sekdes di desa dekat pelabuhan untuk memint izin berkegiatan. Pribadi yang ramah menyambut kami yaitu Bapak Syahroni, kepala desa setempat. Setelah lama berbinacang dan mendapat izin, kami bergegas membuat camp pertama di  dekat pelabuhan. Kala itu sudah larut malam, seperti biasa yang laki-laki membuat tenda dan api, sedangkan yang perempuan membuat makan malam. Malam itu lumayan cerah, setelah berbincang dan melepas malam, tiba-tiba Mamat melihat seekor penyu ketika mencari kayu. Kami dekati penyu tersebut, dan setelah ditunggu cukup lama ternyata penyu bertelur dekat camp kami. Telur yang dikeluarkan sangat banyak berjumlah puluhan. Kami menerangi penyu tersebut dengan cahaya seadanya tapi tidak juga mengganggu penyu bertelur. Sekitar 1 jam penyu mengeluarkan puluhan telurnya dan penyu meninggalkan pesisir pantai menuju laut kembali. Doa kami menyertai hewan ini, semoga keturunanmu selamat sampai besar nanti, dan kelak Sebesi menjadi saksi bisu kehidupan hewan terancam punah ini.
Rabu, 6 Juli 2011
             Keesokan harinya yaitu hari pertama bagi kami untuk melakukan perjalanan menemukan tempat yang tepat untuk sampling. Setelah makan pagi dan membereskan semuanya, kami siap gerak pukul 09.00 pagi. Tidak banyak yang dilakukan hari itu, kami terus berjalan di tepi laut. Medan yang tidak cukup sulit, membawa kami berjalan cepat sampai menemukan spot yang kira-kira baik menjadi tempat   pengambilan data flora sebelum terkena tsunami. Kerang putih dan pasir putih membatasi antara laut dan hutan yang tidak terlalu rimbun, tempat kami melakukan sampling. Sebelumnya, kami istirahat dan mempersiapkan logistik keperluan sampling yaitu koran bekas, sasak, alkohol 70%, plastik cor, alat tulis, dan juga kamera sebagai media yang segar  untuk mendata flora tersebut. Kami membagi tim menjadi 3 kelompok, 2 orang mendata pohon dengan luas area 10x10 meter yaitu saya dan Mamat, 2 orang mendata tumbuhan perdu dengan luas area 3x3 meter Ido dan Bella , dan terakhir 2 orang mendata tumbuhan herba dengan luas area 1x1 meter yaitu Emil dan Ami. Setiap batas area ditandai dengan tali rafia yang dibuat kotak. Semua tumbuhan yang diambil, kami kumpulkan menjadi satu berdasarkan kelompoknya di atas ponco. Kami memberikan tanda pada setiap tumbuhan dengan tulisan spesies 1, spesies 2, dan seterusnya. Selain mengambil sample tumbuhan, kami juga mendata hal-hal yang dibutuhkan dalam mengkalkulasi biodiversitas tumbuhan. Tumbuhan yang sudah diberi label, kami selipkan diantara koran bekas, kemudian ditumpuk pada sebuah sasak, dan diamasukkan ke dalam plastik cor dengan ditumpahi alkohol agar tumbuhan yang  diambil tetap awet sampai Bandung. Setelah dirasa semuanya cukup, kami istirahat sambil duduk-duduk di tepi pantai, melihat sekitar 5 orang anak kecil mencari ikan di atas karang-karang besar. Kaki rasanya malas sekali untuk bergerak, tapi cuaca yang panas saat itu memaksa kami untuk segera berjalan dan menemukan lokasi camp yang bagus. Kami terus berjalan di tepi laut dan kadang melewati batu-batu besar yang sangat licin. Sesekali kami berhenti untuk sekedar menegak air dan mencari tempat teduh. Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya kami menemukan tempat camp di depan sebuah gubuk kosong, sepertinya tempat warga untuk menyimpan pisang atau kelapa. Kondisi camp waktu itu sangat strategis dengan laut yang cukup jauh menjorok dibatasi karang-karang berwarna hitam. Kami menghabiskan waktu cukup lama untuk sekedar duduk-duduk dan mencari ikan. Tidak terasa hari sudah gelap, dan kami segera membuat api dan masak. Malam yang cerah waktu itu, menyanjung kami agar tidak membuat tenda, sehingga kami tidur hanya beralaskan matras di depan gubuk dan api yang kami buat. Untuk menjaga malam dari hal-hal yang tidak diinginkan, kami membagi piket jaga malam menjadi 3 tim. Malam kian larut, dan akhirnya kami semua tidur ditemani hp Mamat yang terus bernyayi sepanjang  malam.
Kamis, 7 Juli 2011
             Persediaan air yang kian menipis ditambah mata air yang jarang ditemukan membuat kami menghemat pengeluaran air untuk masak. Semua anggota sudah siap gerak kira-kira pukul 9 pagi, dengan bawaan yang tidak terlalu berat. Kami merencanakan bahwa hari itu kami bisa melakukan sampling flora yang  tidak terkena tsunami. Langkah kaki kami yang cukup cepat membawa semangat untuk terus berjalan menyelesaikan target yang telah direncanakan sebeleumnya. Kami terus berjalan sampai baru kami sadari ada sesuatu yang terus mengikuti. Kami rasa anggota kami kini menjadi 8. Kami panggil dia “jijing”, hewan yang baru disadari sangat setia dengan kami. Anjing budug yang mempunyai banyak luka di sekitar kupingnya setia menemani kami berjalan. Sekitar pukul 10 pagi, kami bertemu 2 orang yang sedang memanjat pohon kelapa dengan gesit. Kami pun tergoda untuk menyapanya, dengan harapan kami bisa sedikit mencicipi air kelapa di hari yang sangat panas dengan persediaan air yang kurang. Rasanya nikmat sekali waktu kami meminum air kelapa segar dan menguliti dagingnya yang muda. Kami diberi kira-kira 4 kelapa besar yang kami ambil dagingnya untuk perbekalan selama perjalanan. Orang-orang ramah itu terus mengajak kami mengobrol sampai tidak terasa kami telah menghabiskan waktu cukup lama disitu. Setelah saling bertukar nomer telepon , kami bergegas pergi membawa tulang kepala babi, yang diberikan 2 orang tadi. Hari itu kami terus berjalan dan ternyata perkiraan kami salah. Kami tidak berhasil melakukan sampling hari itu, ternyata kami belum melewati tebing seperti yang terlihat di peta. Jadi kami hanya terus berjalan saat itu. Air yang menipis membuat kami terus berjalan sambil mencari desa untuk mengambil air. Akhirnya kami menemukan desa kecil dan mengambi air dialiran sungai kecil di atas batu-batu kali besar. Memang air yang kami ambil tidak layak untuk diminun, karena berwarna keruh dan rasanya yang aneh. Tapi kami tetap mengambil air disitu untuk  jaga-jaga agar tidak kehabisan air selama perjalanan. Berjalan terus  sampai kami menemukan tanjakan tanah di atas punggungan yang harus dilewati. Tanjakan itu cukup berat dilewati karena kemiringannya yang terjal dan tas kami yang sudah penuh lagi terisi air. Kami terus berjalan, sampai tenaga kami yang hilang dibayar dengan pemandangan yang luar biasa dari atas puncak punggungan. Tebing tinggi dengan air yang lewat dibawahnya membentuk aliran air yang tenang seperti kolam renang. Sinar matahari yang terhalang pepohonan diatasnya membuat warna biru yang cukup jelas dilihat dari atas punggungan. Pemandangan yang menggoda hati kami untuk mencari jalan turun ke bawah. Tapi kenyataannya tidak ada jalan ke bawah karena kami berada pada punggungan yang rapat. Melihat kondisi hari yang mulai sore, kami memutuskan turun dari puncak punggungan. Kami terus berjalan sampai kami bertemu pekerja yang sedang menjaga gundukan kayu hasil penebangan di pohon. Sore itu memang kami sempat melewati hutan rindang dan terdengar suara-suara mesin pemotong kayu dengan jelas. Kami bertanya kepada orang tersebut, menanyakan perihal tebing . Dia bilang bahwa di depan perjalanan kami akan menemukan tebing tinggi yang tidak bisa dilewati, sehingga kami harus masuk kedalam hutan yang waktu kami lehat dipeta berkontur cukup rapat. Kami berusaha melewati tebing hari itu, tapi apa boleh buat, karena hari mulai gelap, kami memutuskan untuk beristirahat dan membuat camp. Camp kami kali ini berjarak cukup dekat dengan laut. Seperti biasa, kami memasak, membuat shelter, dan api. Hari yang gelap diterangi lampu yang sangat terang terlihat dari perahu nelayan di laut menarik perhatian bukan hanya ikan di laut tapi juga kami. Suasana tenang menemani kami mengobrol dengan sekitar 3 orang penjaga kayu. Tidak lupa juga kami melakukan evaluasi setiap harinya dan briefing untuk hari esok. Awalnya kami yang sudah lelah, tidur beralaskan matras saja. Sampai hujan yang deras membuat kami masuk fly-sheet dan berdempetan menghangatkan tubuh. Kebetulan saat hujan tiba adalah waktu saya dan Emil jaga malam. Jadi kami berada di ujung fly-sheet dengan kondisi yang lumayan basah, terutama Emil yang kala itu kakinya terserang gatal seperti infeksi. Malam terasa sangat lama berlalu, hujan terus turun, dan suara ombak seperti dekat menemani kami.
Jum’at, 8 Juli 2011
             Hari ini kami merencanakan akan melewati tebing dengan sedikit masuk ke hutan seperti yang terlihat dalam peta. Kami mempersiapkan semuanya mulai dari logistik hingga fisik. Setelah siap berangkat, barulah kami melangkahkan kaki menuju hutan. Jijing berada di depan barisan, kadang dia menggonggong keras seperti mengusir babi. Kami terus berjalan menyusuri hutan. Kontur dalam peta yang begitu rapat, memang terasa sekali dalam kenyataannya. Setelah lebih kurang 2 jam berjalan, kami menemukan mata air yang berada pada pinggir jurang. Karena persediaan air yang menipis, kami memaksakan untuk mengambil air tersebut menggunakan webbing sebagai katrol sederhana. Johan bertugas turun mengambil air tersebut. Sudah semua botol danjirigen terisi, kami segera melanjutkan perjalanan. Kami jalan terus melewati punggungan dan akhirnya sampai di puncak punggungan. Setelah melihat tepi pantai dari atas, kami segera menuruni punggungan dan beristirahat di tepi pantai. Kami menelusuri pinggir pantai dan sore pun tiba. Kami segera mencari tempat camp yang kami putuskan juga sebagai tempat sampling kedua. Camp kami terletak di tenda milik warga tempat menyimpan kelapa-kelapa yang sudah di panen. Angin yang kencang menyambut malam itu, kondisi camp yang strategis membuat malam itu sangat tenang.
Sabtu, 9 Juli 2011
             Karena hari ini sepertinya hari terakhir kami berjalan, maka kami sedikit santai. Desa yang kami datangi di awal kami ke Sebesi tidak terlalu jauh katanya. Kami menghabiskan waktu dengan berenang di laut terutama yang laki-laki, sedangkan yang perempuannya hanya duduk-duduk di pinggir pantai. Kira-kira tepat jam 10, kami langsung mempersiapkan segala logistik keperluan sampling. Semua logistik ditaro di atas ponco dengan rapi. Pembagian tim dirubah, tetapi pembagian tugas masih tetap dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Kini kami mengambil spot di lahan dekat jalan setapak. Kami membagi areanya menjadi 3 bagian dengan tali rapia yaitu 10x10, 3x3, dan 1x1 meter. Semua tumbuhan kita ambil, memberi label, memasukkannya dalam koran, dan menumpuknya dalam sasak. Hal itu seperti sudah di luar kepala, karena kami sudah melakukan sebelumnya. Setelah semuanya selesai, kami hanya duduk-duduk di pinggir pantai sedangkan Johan, Mamat, Emil, dan Ido berenang di laut. Kami beristirahat sampai tepat pukul 1 siang. Semua tugas di Sebesi sudah selesai, jadi hari itu kami sangat santai sekali. Rasa senang ketika siang itu aku berjalan menuju desa untuk segera pulang, karena kami merasa badan kami sudah sangat lengket karena keringat. Terik matahari menemani kami berjalan di jalan setapak melewati desa-desa. Pemandangan yang luar biasa terlihat dari desa, orang-orang desa yang ramah, seperti melihat ke arah kami tiap kami lewat. Akhirnya kami sudah sampai di desa awal tempat kami pertama kali turun ke Sebesi. Rencananya kami akan menginap semalam lagi di mesjid, untuk itu kami meminta           


Tidak ada komentar: