By Dinda Prayunita
Senin, 4 Juli 2011
Perjalanan dimulai dari terik matahari yang menyengat waktu kami
mempersiapkan semua kebutuhan perjalanan mulai dari makanan, shelter, sampai
logistik pendukung pengambilan data untuk simulasi ekspedisi hari ini ke Pulau
Sebesi, Lampung Selatan. Sampai sore hari akhirnya semua barang-barang yang
tadinya berantakan di atas ponco, sekarang sudah tersusun rapi di dalam
carrier. Setelah yakin tidak ada yang tertinggal, kami lekas berdoa dan segera
berangkat menuju terminal bus leuwipanjang. Kami berusaha untuk menekan biaya
transportasi agar sesuai dengan apa yang telah direncanakan, usaha itu terlihat
dari pertimbangan yang cukup alot saat menawar-nawar harga dengan supir angkot.
Akhirnya dengan tidak hanya sekedar memikirkan harga yang cukup murah tetapi
efisiensi waktu yang didapatkan, kami memilih menyarter angkot menuju terminal
bus. Sampai terminal, hari sudah cukup gelap, dengan carrier yang kami bawa
kemana-mana, saya dan Bella berperan sebagai “preman terminal”, sedangkan yang
lainnya mencari makan. Tidak menunggu cukup lama, ternyata bus yang kami tunggu
“Arimbi” sudah ada, dan setelah pendekatan dengan kenek bus disana, kami sangat
dibantu untuk mendapatkan tempat di dalam bus dengan mudah. Dua baris
terbelakang menjadi tempat kami selama lebih kurang 5 jam kedepan menuju
Pelabuhan Merak, Banten. Tidak banyak yang kami lakukan di dalam bus, mungkin
karena kami yang terlalu lelah malam itu.
Selasa , 5 Juli 2011
Sekitar pukul 02.00, kami sampai di
pelabuhan Merak dan segera menuju tempat perahu bersandar. Tiket seharga Rp
11.500 sudah di tangan, kami pun menuju tempat duduk kelas ekonomi. Walaupun
keadaan kapal saat itu tidak terlalu ramai, kami duduk terpisah antara di kursi
kelas ekonomi dan deck atas. Perjalanan dari pelabuhan Merak menuju Bakauheni
berlangsung selama 3 jam.
Sampai di pelabuhan Bakauheni, rasanya
sangat berbeda. Mungkin benar kata orang-orang jika orang Lampung berwatakan
kasar karena seturunnya kami dari kapal banyak joki yang menawarkan angkutan
dengan memaksa . Kami memutuskan berbelanja sayuran terlebih dahulu di pasar
dekat pelabuhan. Terjadi
tawar menawar harga ketika akan men-charter angkot menuju pelabuhan Canti. 2,5
jam perjalanan menuju pelabuhan Canti dengan suasana jalan yang sepi ditambah
keadaan perut yang kosong membuat kami semua tertidur. Diperjalanan, ban angkot
bocor sehingga perjalanan sedikit tersendat. Tapi semua itu tidak berarti
apa-apa karena pemandangan pantai yang indah sudah terlihat dari sisi jalan dan
menemani perjalanan kami menuju Canti.
Hiruk-pikuk khas pasar terjadi pula di
pelabuhan Canti. Pisang dan kelapa diturunkan dari kapal dan segera
diperdagangkan. Kami menanyakan kedatangan kapal menuju Pulau Sebesi, dan
ternyata kapal baru datang sekitar pukul 2 siang. Apa boleh buat kami menunggu
sekitar 5 jam di Canti. Sekedar bersenda gurau dan tak lupa mengisi perut kami
lakukan sambil menunggu kapal datang. Setelah kapal datang, ternyata kami harus
menunggu dulu barang muatan dinaikkan ke atas kapal. Suasana tersebut sangat
berkesan bagi kami, ketika semua orang bahu membahu menaikkan muatan dengan
suasana panas yang menyengat.
Hamparan lautan yang luas dan desir
ombak membawa 2 jam kami di atas kapal tidak terasa membosankan. Kebesaran
tuhan yang baru kami sadari ketika melakukan perjalanan. Pulau Sebesi sudah
nampak di depan mata, kebanggan yang luar biasa ketika bisa mengunjungi pulau
orang dengan teman-teman yang luar biasa. Sampai di pulau Sebesi, kami segera
menuju rumah sekdes di desa dekat pelabuhan untuk memint izin berkegiatan.
Pribadi yang ramah menyambut kami yaitu Bapak Syahroni, kepala desa setempat.
Setelah lama berbinacang dan mendapat izin, kami bergegas membuat camp pertama
di dekat pelabuhan. Kala
itu sudah larut malam, seperti biasa yang laki-laki membuat tenda dan api,
sedangkan yang perempuan membuat makan malam. Malam itu lumayan cerah, setelah
berbincang dan melepas malam, tiba-tiba Mamat melihat seekor penyu ketika
mencari kayu. Kami dekati penyu tersebut, dan setelah ditunggu cukup lama
ternyata penyu bertelur dekat camp kami. Telur yang dikeluarkan sangat banyak
berjumlah puluhan. Kami menerangi penyu tersebut dengan cahaya seadanya tapi
tidak juga mengganggu penyu bertelur. Sekitar 1 jam penyu mengeluarkan puluhan
telurnya dan penyu meninggalkan pesisir pantai menuju laut kembali. Doa kami
menyertai hewan ini, semoga keturunanmu selamat sampai besar nanti, dan kelak
Sebesi menjadi saksi bisu kehidupan hewan terancam punah ini.
Rabu, 6 Juli 2011
Keesokan harinya yaitu hari pertama
bagi kami untuk melakukan perjalanan menemukan tempat yang tepat untuk
sampling. Setelah makan pagi dan membereskan semuanya, kami siap gerak pukul
09.00 pagi. Tidak banyak yang dilakukan hari itu, kami terus berjalan di tepi
laut. Medan yang tidak cukup sulit, membawa kami berjalan cepat sampai
menemukan spot yang kira-kira baik menjadi tempat pengambilan data flora sebelum terkena
tsunami. Kerang putih dan pasir putih membatasi antara laut dan hutan yang
tidak terlalu rimbun, tempat kami melakukan sampling. Sebelumnya, kami
istirahat dan mempersiapkan logistik keperluan sampling yaitu koran bekas,
sasak, alkohol 70%, plastik cor, alat tulis, dan juga kamera sebagai media yang
segar untuk mendata flora
tersebut. Kami membagi tim menjadi 3 kelompok, 2 orang mendata pohon dengan
luas area 10x10 meter yaitu saya dan Mamat, 2 orang mendata tumbuhan perdu
dengan luas area 3x3 meter Ido dan Bella , dan terakhir 2 orang mendata tumbuhan herba dengan luas area
1x1 meter yaitu Emil dan Ami. Setiap batas area ditandai dengan tali rafia yang
dibuat kotak. Semua tumbuhan yang diambil, kami kumpulkan menjadi satu
berdasarkan kelompoknya di atas ponco. Kami memberikan tanda pada setiap
tumbuhan dengan tulisan spesies 1, spesies 2, dan seterusnya. Selain mengambil
sample tumbuhan, kami juga mendata hal-hal yang dibutuhkan dalam mengkalkulasi
biodiversitas tumbuhan. Tumbuhan yang sudah diberi label, kami selipkan diantara koran bekas,
kemudian ditumpuk pada sebuah sasak, dan diamasukkan ke dalam plastik cor
dengan ditumpahi alkohol agar tumbuhan yang diambil tetap awet sampai Bandung.
Setelah dirasa semuanya cukup, kami istirahat sambil duduk-duduk di tepi pantai,
melihat sekitar 5 orang anak kecil mencari ikan di atas karang-karang besar.
Kaki rasanya malas sekali untuk bergerak, tapi cuaca yang panas saat itu
memaksa kami untuk segera berjalan dan menemukan lokasi camp yang bagus. Kami
terus berjalan di tepi laut dan kadang melewati batu-batu besar yang sangat
licin. Sesekali kami berhenti untuk sekedar menegak air dan mencari tempat
teduh. Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya kami menemukan tempat camp di
depan sebuah gubuk kosong, sepertinya tempat warga untuk menyimpan pisang atau
kelapa. Kondisi camp waktu itu sangat strategis dengan laut yang cukup jauh
menjorok dibatasi karang-karang berwarna hitam. Kami menghabiskan waktu cukup
lama untuk sekedar duduk-duduk dan mencari ikan. Tidak terasa hari sudah gelap,
dan kami segera membuat api dan masak. Malam yang cerah waktu itu, menyanjung
kami agar tidak membuat tenda, sehingga kami tidur hanya beralaskan matras di
depan gubuk dan api yang kami buat. Untuk menjaga malam dari hal-hal yang tidak
diinginkan, kami membagi piket jaga malam menjadi 3 tim. Malam kian larut, dan
akhirnya kami semua tidur ditemani hp Mamat yang terus bernyayi sepanjang malam.
Kamis, 7 Juli 2011
Persediaan air yang kian menipis
ditambah mata air yang jarang ditemukan membuat kami menghemat pengeluaran air
untuk masak. Semua anggota sudah siap gerak kira-kira pukul 9 pagi, dengan
bawaan yang tidak terlalu berat. Kami merencanakan bahwa hari itu kami bisa
melakukan sampling flora yang tidak
terkena tsunami. Langkah kaki kami yang cukup cepat membawa semangat untuk
terus berjalan menyelesaikan target yang telah direncanakan sebeleumnya. Kami
terus berjalan sampai baru kami sadari ada sesuatu yang terus mengikuti. Kami
rasa anggota kami kini menjadi 8. Kami panggil dia “jijing”, hewan yang baru
disadari sangat setia dengan kami. Anjing budug yang mempunyai banyak luka di
sekitar kupingnya setia menemani kami berjalan. Sekitar pukul 10 pagi, kami
bertemu 2 orang yang sedang memanjat pohon kelapa dengan gesit. Kami pun
tergoda untuk menyapanya, dengan harapan kami bisa sedikit mencicipi air kelapa
di hari yang sangat panas dengan persediaan air yang kurang. Rasanya nikmat
sekali waktu kami meminum air kelapa segar dan menguliti dagingnya yang muda.
Kami diberi kira-kira 4 kelapa besar yang kami ambil dagingnya untuk perbekalan
selama perjalanan. Orang-orang ramah itu terus mengajak kami mengobrol sampai
tidak terasa kami telah menghabiskan waktu cukup lama disitu. Setelah saling
bertukar nomer telepon , kami bergegas pergi membawa tulang kepala babi, yang
diberikan 2 orang tadi. Hari itu kami terus berjalan dan ternyata perkiraan
kami salah. Kami tidak berhasil melakukan sampling hari itu, ternyata kami
belum melewati tebing seperti yang terlihat di peta. Jadi kami hanya terus berjalan
saat itu. Air yang menipis membuat kami terus berjalan sambil mencari desa
untuk mengambil air. Akhirnya kami menemukan desa kecil dan mengambi air
dialiran sungai kecil di atas batu-batu kali besar. Memang air yang kami ambil
tidak layak untuk diminun, karena berwarna keruh dan rasanya yang aneh. Tapi
kami tetap mengambil air disitu untuk jaga-jaga
agar tidak kehabisan air selama perjalanan. Berjalan terus sampai kami menemukan tanjakan tanah
di atas punggungan yang harus dilewati. Tanjakan itu cukup berat dilewati
karena kemiringannya yang terjal dan tas kami yang sudah penuh lagi terisi air.
Kami terus berjalan, sampai tenaga kami yang hilang dibayar dengan pemandangan
yang luar biasa dari atas puncak punggungan. Tebing tinggi dengan air yang lewat
dibawahnya membentuk aliran air yang tenang seperti kolam renang. Sinar
matahari yang terhalang pepohonan diatasnya membuat warna biru yang cukup jelas
dilihat dari atas punggungan. Pemandangan yang menggoda hati kami untuk mencari
jalan turun ke bawah. Tapi kenyataannya tidak ada jalan ke bawah karena kami
berada pada punggungan yang rapat. Melihat kondisi hari yang mulai sore, kami
memutuskan turun dari puncak punggungan. Kami terus berjalan sampai kami
bertemu pekerja yang sedang menjaga gundukan kayu hasil penebangan di pohon.
Sore itu memang kami sempat melewati hutan rindang dan terdengar suara-suara
mesin pemotong kayu dengan jelas. Kami bertanya kepada orang tersebut,
menanyakan perihal tebing . Dia bilang bahwa di depan perjalanan kami akan
menemukan tebing tinggi yang tidak bisa dilewati, sehingga kami harus masuk
kedalam hutan yang waktu kami lehat dipeta berkontur cukup rapat. Kami berusaha
melewati tebing hari itu, tapi apa boleh buat, karena hari mulai gelap, kami
memutuskan untuk beristirahat dan membuat camp. Camp kami kali ini berjarak
cukup dekat dengan laut. Seperti biasa, kami memasak, membuat shelter, dan api.
Hari yang gelap diterangi lampu yang sangat terang terlihat dari perahu nelayan
di laut menarik perhatian bukan hanya ikan di laut tapi juga kami. Suasana
tenang menemani kami mengobrol dengan sekitar 3 orang penjaga kayu. Tidak lupa
juga kami melakukan evaluasi setiap harinya dan briefing untuk hari esok.
Awalnya kami yang sudah lelah, tidur beralaskan matras saja. Sampai hujan yang
deras membuat kami masuk fly-sheet dan berdempetan menghangatkan tubuh.
Kebetulan saat hujan tiba adalah waktu saya dan Emil jaga malam. Jadi kami
berada di ujung fly-sheet dengan kondisi yang lumayan basah, terutama Emil yang
kala itu kakinya terserang gatal seperti infeksi. Malam terasa sangat lama
berlalu, hujan terus turun, dan suara ombak seperti dekat menemani kami.
Jum’at, 8 Juli 2011
Hari ini kami merencanakan akan
melewati tebing dengan sedikit masuk ke hutan seperti yang terlihat dalam peta.
Kami mempersiapkan semuanya mulai dari logistik hingga fisik. Setelah siap
berangkat, barulah kami melangkahkan kaki menuju hutan. Jijing berada di depan
barisan, kadang dia menggonggong keras seperti mengusir babi. Kami terus
berjalan menyusuri hutan. Kontur dalam peta yang begitu rapat, memang terasa
sekali dalam kenyataannya. Setelah lebih kurang 2 jam berjalan, kami menemukan
mata air yang berada pada pinggir jurang. Karena persediaan air yang menipis,
kami memaksakan untuk mengambil air tersebut menggunakan webbing sebagai katrol
sederhana. Johan bertugas turun mengambil air tersebut. Sudah semua botol
danjirigen terisi, kami segera melanjutkan perjalanan. Kami jalan terus
melewati punggungan dan akhirnya sampai di puncak punggungan. Setelah melihat
tepi pantai dari atas, kami segera menuruni punggungan dan beristirahat di tepi
pantai. Kami menelusuri pinggir pantai dan sore pun tiba. Kami segera mencari
tempat camp yang kami putuskan juga sebagai tempat sampling kedua. Camp kami
terletak di tenda milik warga tempat menyimpan kelapa-kelapa yang sudah di
panen. Angin yang kencang menyambut malam itu, kondisi camp yang strategis
membuat malam itu sangat tenang.
Sabtu, 9 Juli 2011
Karena hari ini sepertinya hari
terakhir kami berjalan, maka kami sedikit santai. Desa yang kami datangi di
awal kami ke Sebesi tidak terlalu jauh katanya. Kami menghabiskan waktu dengan
berenang di laut terutama yang laki-laki, sedangkan yang perempuannya hanya
duduk-duduk di pinggir pantai. Kira-kira tepat jam 10, kami langsung
mempersiapkan segala logistik keperluan sampling. Semua logistik ditaro di atas
ponco dengan rapi. Pembagian tim dirubah, tetapi pembagian tugas masih tetap
dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Kini kami mengambil spot di lahan dekat
jalan setapak. Kami membagi areanya menjadi 3 bagian dengan tali rapia yaitu
10x10, 3x3, dan 1x1 meter. Semua tumbuhan kita ambil, memberi label,
memasukkannya dalam koran, dan menumpuknya dalam sasak. Hal itu seperti sudah
di luar kepala, karena kami sudah melakukan sebelumnya. Setelah semuanya
selesai, kami hanya duduk-duduk di pinggir pantai sedangkan Johan, Mamat, Emil,
dan Ido berenang di laut. Kami beristirahat sampai tepat pukul 1 siang. Semua
tugas di Sebesi sudah selesai, jadi hari itu kami sangat santai sekali. Rasa
senang ketika siang itu aku berjalan menuju desa untuk segera pulang, karena
kami merasa badan kami sudah sangat lengket karena keringat. Terik matahari
menemani kami berjalan di jalan setapak melewati desa-desa. Pemandangan yang luar
biasa terlihat dari desa, orang-orang desa yang ramah, seperti melihat ke arah
kami tiap kami lewat. Akhirnya kami sudah sampai di desa awal tempat kami
pertama kali turun ke Sebesi. Rencananya kami akan menginap semalam lagi di
mesjid, untuk itu kami meminta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar