Tanggal : 21-25 April 2011
Crew :
Yoga, Nurul, Bowo, Bellys dan Sojo
Entah dari mana munculnya (sebenernya udah diperhitungkan
juga ke tasik tapi karena prejalanan yang di tempuh sama-sama lama, akhirnya
kami ambil yang paling lama sekalian), kami akhirnya mau latihan sekaligus
main-main di gua Jogja. Kami memutuskan untuk berangkat hari kamis setelah
kuliah. Kami sudah packing dari kemarinnya, namun ternyata pada saat hari H
kami belum juga mendapatkan spiritus dan parafin. Kami sudah mencari-cari
(parafin di Alpina lagi abis) tapi tetap tidak ada, jadi kami berniat beli di
Jogja saja. Bellys (aku) lupa bawa kamera, akhirnya aku ga bareng yang lain
naik angkot ke terminal. Aku balik dulu ke rumah bareng Onye naik motor, terus
nyusul ke terminal kereta di piiiiiip (aku lupa namanya apa, kiara condong deh
kalo ga salah). Harusnya kami naik kereta yang jam sembilan, tapi kami sudah
tiba disana jam delapan dan itupun penumpang yang menunggu di peron kami sudah
sangat banyak.
Di
peron, kami sempat disapa oleh anak sispala, tapi aku lupa nama sispalanya apa.
Kami beli minuman di stasiun, tapi harganya lebih mahal, mending uda beli di
deket kampus deh. Setelah menunggu di peron beberapa lama, akhinya muncul juga
pengumuman bahwa kereta kami akan datang, tapi disusul pengumuman juga bahwa
kalau penumpangnya ga bisa masuk, jangan maksa, ada kereta lagi jam enam pagi
esok hari (pengumuman yang menyebalkan).
Kereta
pun datang. Ternyata keretanya sudah penuh (keretanya emang dari padalarang
dulu baru ke kircon). Orang-orangpun berebut masuk, tapi ada penjaga di setiap
pintu masuk ke gerbong. Jadi, walaupun gerbongnya belum penuh sesak kami dan
para calon penumpang tidak bisa masuk. Kami coba ke gerbong depan, kami bertemu
Winda yang sudah naik dari padalarang. Akhirnya kami jalan-jalan lagi, kami
coba ke gerbang belakang. Sebenarnya ada satu gerbang lagi yang kosong, tapi
entah kenapa pintunya tidak dibuka. Kami sangat kecewa, lagian malu juga kalo
balik ke sel gara-gara ga dapet kereta. Akhirnya kami memutuskan tunggu di
dekat gerbong yang dikunci itu, Alhamdulillah ternyata ada petugas yang membuka
gerbong tersebut. Kami pun berhasil masuk dan duduk berdekatan di sisi gerbong
sehingga dapat menyender.
Perjalanan
di kereta tidak terlalu berkesan karena kami semua tidur (well, sebenernya
berusaha untuk tidur sih, soalnya kebangun terus karena posisi duduk yang
kurang nyaman). Begitu sampai di stasiun Wates, kami jaga untuk tetap bangun
karena itu adalah stasiun terakhir menuju Jogja. Kamipun sampai di Jogja. Kami
berjalan keluar stasiun menuju tempat pemberhentian transjogja. Kami sempat diputar oleh Yoga sang pemandu
jalan untuk diperlihatkan hasil lukisan dia yang dulu ia buat di dinding sebelah
jalan.
Akhirnya kami menaiki transjogja dan sampai di Kopma UGM. Kami berjalan ke arah
kantin untuk membeli makan sambil menunggu jemputan dari PALAPSI, psikologi
UGM.
Kami
bercakap-cakap dengan anak-anak UGM sambil makan sop buah dan es teller (tapi
rasanya ga karuan, enakan yang beli di Bandung). Karena tidak mungkin kami
sarapan itu aja, jadi kami dibawa jalan ke tempat nasi kuning. Kami kembali
lagi ke PALAPSI untuk briefing bersama Mba Siti, Mba satu lagi yang aku lupa
namanya, dan Anggit. Setelah itu, Yoga balik ke rumahnya buat ngambil helm
(helm kurang tiga untuk pergi ke Jomblangnya), aku dan Nurul belanja ke pasar
terdekat, Sojo dan Bowo beres-beres logistik. Kami menunggu hingga Yoga balik
ke PALAPSI dan membeli parafin baru deh
akhirnya berangkat.
Awalnya
formasi motornya Mba Siti-Sojo, Yoga-Bellys, Bowo-Nurul, kemudian Anggit. Tapi
di pom bensin, Mba Siti ingin menyetir saja, jadi formasinya ganti Mba
Siti-Bellys dan Yoga-Sojo. Selama perjalanan kesana kami sempat berhenti di
alfamart untuk membeli air minum (kami membeli dua botol besar tapi ternyata
masih kurang). Akhirnya kami sampai di pondok juru kunci gua Jamprong-Semuluh.
Kami
bertegur sapa sebentar lalu langsung bersiap-siap dan berangkat ke gua
Jamprong-Semuluh. Kami masuknya lewat Jamprong karena lebih mudah menemukan
guanya. Guanya ada di jalan sebelum pondok kalo berangkat dari Jogja. Kamipun
menelusuri gua Jamprong-Semuluh.
Mulut guanya besar, dalamnya
juga besar, tapi berair. Awalnya airnya dangkal, lama-lama seleher juga. Gua
Jamprong-Semuluh sangat penuh dengan binatang. Kami menemukan lele, tikus,
kelelawar (banyak banget!), belatung dan laba-laba. Untung ada lele yang lagi
lelompatan ke batu jadinya berhasil kami foto.
Ornamen disana juga masih ada
yang putih. Banyak juga yang kayak batu konglomerat gitu, tapi entah sih
beneran batu konglomerat apa ga. Tadinya kita ga bisa foto si batu supaya tetep
putih, tapi akhirnya dengan menggunakan cahaya dari head lamp kita bisa dapet
foto batu yang lumayan bagus. Di dalam guanya tuh kayak kebagi jadi dua jalur,
ada yang jalur kiri lewat air ada juga jalur kanan yang lebih menanjak tapi
kering, yaaah ada lumpur-lumpurnya juga sih. Kalau ga hati-hati, bisa bangunin
kelelawar yang tidur di sisi kanan lho, nanti kelelawarnya terbang ke arah muka.
Emang ga bakal nabrak sih, tapi lumayan bikin ngeri dan kaget.
Ketika kami sampai di
percabangan yang terus upstream atau keluar ke mulut gua Semuluh, kami
melanjutkan dulu ke upstream itu. Ketika ingin menuju jalur upstream itu, kami
sempat salah memilih jalur. Jalur yang kami pilih tuh jalur atas, sehingga kami
butuh turun vertikal untuk melanjutkan perjalanan. Anggit emang bisa sih turun
lewat dindingnya tapi butuh kekuatan tangan dan keahlian manjat yang cukup.
Akhirnya kami berbalik arah dan ke jalur upstream melalui jalur normal (jalur
yang disarankan Mba Siti juga Anggit). Tapi Mba Siti dan Anggit tidak ikutan.
Kemungkinan besar Anggit ga
ikutan karena dia ga tahan banget sama guano. Disana guanonya sangat pekat
sampai Nurul pusing gitu. Makin lama kami menjelajah, airnya makin dalam. Kalau
dilihat dari batu-batu sekitarnya, airnya bisa lebih tinggi lagi kalo lagi
hujan, makanya bahaya kalo menjelajah kesana pas hujan. Kami terus lanjut
sampai akhirnya ke lorong yang harus vertikal sembilan meter. Karena tidak
mungkin melanjutkan perlajanan maka kami berbalik arah dan berjalan hingga
bertemu Mba Siti juga Anggit di dekat mulut gua Semuluh. Untung Mba Siti
membawakan minuman untuk kami, ternyata kami sangat dehidrasi.
Kami kembali ke pondok. Karena
sudah malam, kami cepat-cepat beres-beres dan pamit kemudian berangkat ke
Jomblang. Jalanan ke Jomblang sangat mengerikan (cara mengendarai motor Mba
Siti juga mengerikan). Alhamdulillah kami sampai sana dengan selamat. Kami
mampir dulu ke Mbah Brewok lalu ke penjaga di Resortnya baru deh ke saung
disamping luweng Jomblang.
Sesampainya di saung, kami
berganti pakaian kemudian masak. Awalnya kami berencana bakar ayam, tapi
dilihat dari lingkungannya kurang pas untuk bakar-bakar. Akhirnya ayamnya kami
goreng aja. Emang si Yoga buat api unggun tapi ga diterusin karena kami terlalu
lelah dan ingin segera tidur. Ketika kami masak, teman Bowo yang anak Kapa
(Fakultas Teknik UI) dateng
dianter temennya Bowo satu lagi yang anak Satu Bumi (UGM). Anak Kapa namanya
Andreas Suryanda
a.k.a Asu, kalo anak Satub aku lupa namanya siapa. Anak Satub itu ga ikutan
nginep soalnya dia ada urusan besok subuh.
Kami
akhirnya istirahat karena kalo sesuai teklap sih bangunnya jam lima subuh.
Padahal waktu kami tidur tuh udah jam satu pagi. Ternyata kami bangun tidak
sesuai teklap. Sebagian bangun jam enam, sebagian lagi mendekati jam tujuh baru
bangun. Itupun pas bangun tuh ga langsung instalasi alat ataupun masak. Masih
pada loading. Setelah loadingnya selesai akhirnya kami bagi-bagi tugas. Ada
yang instalasi ada yang masak. Kami mendapat informasi bahwa tali yang kami
bawa sepanjang 70 m dan 30 m, awalnya tadi kami tidak berniat untuk
menyambungkan kedua tali itu, tapi untuk berjaga-jaga akhirnya kami
nyambungkannya dengan simpul fisherman, tak lupa ujung talinya pun diberi
simpul.
Yoga turun duluan dengan tas biru
di punggung. Tas birunya
berisi tali yang tadi udah disimpul. Ternyata dia mengalami kesulitan di simpul
fisherman karena fishermannya terlalu banyak. Berkat kecerdasan Yoga (cieeee…) dia berhasil
turun dengan selamat. Selanjutnya bowo turun. Kesalahan pertama saat itu adalah
sulitnya berkomunikasi antara orang yang sudah turun dengan orang yang masih
diatas. Atas petunjuk Mba Siti, aku bawa pluit untuk mengabari orang yang
diatas jiika orang yang turun dengan tali sudah sampai.
Aku adalah orang ketiga yang turun. Yoga
dan Bowo lupa turun membawa pelampung, akhirnya aku dan orang-orang berikutnya
turun dengan membawa pelampung yang digantungkan. Aku mengalami kesulitan di
pohon yang masih dekat pinggir lubang, aku jeblos ke sisi lain yang bukan
tempat tali. Karena aku tidak bisa memanjat tanpa menukar alat dan aku juga
panik (hei, ini tuh pertama kalinya aku turun setinggi itu), jadinya aku malah
menarik tali dan memindahkannya di sisi aku jeblos. Ternyata cape dan berat
juga talinya. Setelah itu aku turun. Aku tidak terlalu mengalami kesulitan di
simpul butterfly sekitar sepuluh meter diatas tanah.
Setelah itu Asu turun. Sesaat sebelum Asu
turun, kami meneriaki orang di atas untuk membawa minum, kami kira Asu yang
bawa, ternyata yang bawa Nurul. Setelah Asu turun, Sojo turun. Ketika Sojo
sampai dibawah, dia berkata dengan pucat bahwa tali yang ada lakbannya mulai
terlihat serat-serat didalamnya. Oleh karena itu, kami meminta Nurul untuk
membuat simpul butterfly di tali berlakban itu. Nurul pun turun, kemudian kami
bergerak ke mulut gua. Mulut guanya sangat besar, lebar, berkabut dan penuh
lumpur. Tapi di guanya sudah diletakan batu-batu untuk pijakan. Kami berfoto
sebentar disana. Kemudian kami melanjutkan perjalanan. Ada yang berjalan diatas
batu pijakan, ada pula yang tidak. Tapi hati-hati, batu-batu pijakan tersebut
cukup licin. Kami melewati tempat berisi puing-puing batu kemudian baru sampai
ke mulut gua Grubug.
Mulut gua Grubung berupa bolongan tinggi di
atas sejauh kira-kira 50an meter juga. Sungai mengalir di bagian bawah. Untuk
menuju sungainya, jalannya cukup terjal. Ada bagian jalan yang lumpur semua;
ada juga yang bebatuan. Di atas terdapat bongkahan besar batu yang putih
sekali. Kami berfoto disana. Si Asu malah seenaknya aja injek bagian bongkahan
yang masih putih, gw bingung mau bilangnya gimana.
Setelah itu kami menuruni turunan tersebut,
kami bergerak menuju sungai. Sebelum kami turun, kami meninggalkan kamera
bersama tas biru kecil di atas karena itu tidak terlindungi dari air. Aku dan
Nurul sempat melihat kadal di bebatuan besar dekat aku menyimpan tas. Aku dan
Nurul pun turun. Kami menyebrangi sungai itu kemudian menyusuri bagian sungai
di cabang satunya. Untung kami menggunakan pelampung, beberapa kali arusnya
cukup kuat dan airnya cukup dalam sehingga agak merepotkan bila kami tidak
menggunakan pelampung. Gua tersebut besar, luas dan lebar pula.
Karena kami telat memulai eksplorasi gua
ini, maka kami membatasi untuk menyusuri upstream sungai itu hanya satu jam.
Selama menyusuri upstream sungai itu, kami menemukan beberapa batu juga yang
masih putih. Tapi perjalanan tersebut terasa sangat singkat, kami akhirnya
harus balik karena waktu sudah habis. Kami cukup kewalahan menaiki gundukan
batu tersebut. Tapi kami akhirnya berhasil dan kemi melanjutkan perjalanan ke
mulut gua Jomblang.
Sebelum kemi semua SRT lagi ke atas, kami
mampir dulu di ceruk lebar dekat mulut gua Jomblang. Akhirnya kami SRT ke atas.
Urutan orang yang naik adalah Bowo, Bellys, Asu, Nurul, Yoga, dan terakhir
Sojo. Sementara menunggu semua orang naik, yang sudah ada di atas
berbenah-benah perlengkapan dan peralatan. Barang-barang yang perlu dicuci pun
dicucikan. Ada kesalahan saat aku sudah selesai naik, aku tidak memperhatikan
tali, ternyata talinya tidak lagi di atas matras. Jadi selama Asu naik, talinya
friksi. Aku juga masih perlu bantuan untuk naik. Asu meganggin tali aku sampai
aku cukup tinggi naiknya.
Ketika aku sampai diatas, ada dua orang
anak mapala (aku lupa euy mapala mana) yang sedang survey. Mereka berdua
akhirnya ngobrol dengan Mba Siti dan Anggit sementara aku dan Bowo beres-beres.
Setelah semua naik dan semua beres-beres. Ketika beres-beres, kami agak
tertukar alat mana yang punya siapa, bahkan satu karabiner terbawa Mba Siti.
Untuk selanjutnya, kami harusnya membawa daftar barang yang di pinjam dari
mapala lain beserta ciri-cirinya.
Setelah itu kami pulang. Kami berhenti dulu
di rumah Mbah Brewok. Kami melanjutkan perjalanan sampai ke UGM. Mba Siti dan
Anggit berpisah dengan kita. Kita melanjutkan perjalanan ke rumah Yoga. Kami
mengisi perut dulu di warung baru lanjut ke rumah Yoga. Tapi Asu ga ikut ke
rumah Yoga, aku mengantarkannya dulu ke rumah temannya Asu yang masih di jalan
kaliurang juga.
Akhirnya kami sampai di rumah Yoga. Yoga
langsung ngobrol dan nonton TV sama adiknya. Aku dan Nurul mandi. Bowo dan Sojo
tunggu giliran mandi di kamar atas. Tapi setelah aku dan Nurul selesai mandi,
mereka tidak mau bangun untuk mandi. Mereka juga ga berhasil dibujuk untuk
tidur di kasur, mereka malah tidur di lantai, padahal Yoga yang bau dan kotor
aja langsung tidur di kasur setelah puas ngobrol sama adiknya. Aku dan Nurul
icip-icip dulu makanan yang di berikan orangtua Yoga baru kami ke tempat tidur.
Akhirnya kami semua tidur.
Esok paginya kami bangun tidak terlalu
pagi. Wajar sih mengingat betapa capenya kami. Aku yang pertama bangun. Aku
akhirnya membangunkan yang lain. Yang pertama berhasil kubangunkan adalah
Nurul. Kami akhirnya turun dan mencuci pelampung. Kemudian Bowo dan Sojo
akhirnya bangun, mereka pun mandi. Yoga juga akhirnya bangun dan mandi. Setelah
itu kami makan gudeg yang disiapkan orang tua Yoga. Tapi ternyata aku masih
ngantuk banget. Aku cuma sadar sampe Yoga nyari-nyari hapenya terus aku tidur
lagi deh.
Bangun-bangun hape Yoga uda ketemu,
ternyata tertinggal di warung kami makan tadi malam. ada di bawah tikar dan
ketauan saat tikarnya dikibas, kasihan hapenya. Kami packing bentar terus cabut
ke PALAPSI lagi. Kami bentar doang di sana. Cuma packing barang-barang lain
yang ditinggal disana lalu kami diantar ke stasiun.
Di stasiun, Sojo dan Yoga pergi dulu cari
oleh-oleh sementara Aku, Nurul dan Bowo beli tiket. Kami bertemu beberapa anak
Bramatala disana. Kami ngobrol sebentar terus anak Bramatalanya mau masuk ke
peron. Kami ga bareng mereka karena Yoga dan Sojo belum kembali dari waktu
belanja mereka. Setelah mereka selesai belanja, kami berpamitan dengan Mba Siti
dan kawan-kawan PALAPSI yang ikut mengantarkan (lagi-lagi aku lupa namanya
siapa).
Kami mendapat gerbong yang dibelakang lagi
yang tanpa tempat duduk. Tapi kali ini gerbong tersebut sudah cukup banyak
orang. Orang-orang tersebut tiduran dan tidak peduli kami belum mendapat tempat
duduk. Akhirnya kami duduk terpisah. Yoga terpisah lebih ke belakang sementara
yang lain lebih ke bagian depan gerbong tersebut. Sampai di jawa barat, kami
tidak mendapat tempat duduk yang bisa senderan. Malah makin ke jawa barat,
penumpangnya makin bertambah.
Kami sempat menonton pertunjukan orang yang
agak homo gitu memainkan sulap. Kami juga sempat ditengah orang-orang yang
saling melemparkan makanan untuk memberikan makanan kepada orang disebrang.
Tiga jam sebelum sampai, Bowo mendapat tempat duduk di pinggir. Aku dan Nurul
juga. Tapi kami terpisah-pisah. Aku dan Nurul duduk dekat sekelompok
Bapak-Bapak yang habis jalan-jalan ke Jogja. Kami diajak ngobrol. Tadinya
ngobrolnya waras-waras aja. Tapi lama-lama aku ditawari pacaran dengan salah
satu anaknya dan Nurul hampir di pijit sama salah satu Bapak itu. Bapak-bapak
tersebut pun duduknya makin merapat ke kami, sehingga akhirnya kami sok-sok ke
toilet tapi akhirnya kami malah berdiri di deket toilet (bau banget kalo
keretanya lagi diem) hingga keretanya sampe kircon lagi.
Dari kircon, kami naik Riung-Dago. Kami
berhenti di McD, angkotnya minta bayaran per orangnya empat ribu. Mahal ya.
Selanjutnya kami jalan sampai sel dan langsung tepar (kecuali Nurul yang
langsung balik ke kosannya). Beberapa barang kami bersihkan esok-esok hari dan
barang yang dipinjam ke Mapaligi dan Bramatala dikembalikan. Aku dan Sojo
terlambat untuk mengembalikan barang ke Astacala. Setelah itu akhirnya semua
beres deh. Tinggal buat catper yang entah kenapa ga selesai-selesai ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar