Selasa, 31 Agustus 2010

Citatah 125, Padalarang





CATATAN PERJALANAN
GL-XIX SUBDIVISI ROCK CLIMBING

22 – 25 Mei 2010
CITATAH 125 M, PADALARANG, JAWA BARAT
Oleh :
Gabriel Efod Virant Pangkerego
Planologi 2009 / 15409034
No. Anggota : GM-013-XIX
KMPA Ganesha ITB

Hari itu adalah hari terakhir semester 2 dan menjelang Perjalanan Evaluasi Akhir Gladi Lanjut XIX Subdivisi Rock Climbing yang kami rencanakan pada pertengahan Juni 2010 menuju Tebing Uluwatu Bali. Kami GL-XIX Rock Climbing merencanakan latihan pemanjatan artificial di Tebing Citatah 125 m. Saya, Inda, Winda, dan Dian sudah merencanakan latihan ke sana Jumat, 21 Mei 2010 setelah pulang kuliah. Tapi karena satu dan lain hal, perjalanan hari itu diundur menjadi keesokan harinya pada Sabtu, 22 Mei 2010. Memang kesibukan masing-masing anggota GL selama ini adalah halangan bagi kami untuk latihan bersama-sama termasuk pada hari itu.
Keesokan harinya, Sabtu, 22 Mei 2010, kami merencanakan berangkat ke Citatah siang pukul 10-11an, namun karena kami harus belanja keperluan dan segala logistic makanan, kami harus ngaret sekitar 2-3 jam dari yang direncanakan. Akhirnya berbekal diri, kesenangan, dan kesiapan kami siap berangkat. Namun ada satu masalah sebelum berangkat. Mungkin sepele karena tidak ada yang mau mengangkat satu carier, Mas Sigit marah dan jalan kaki duluan, dan merembet ke Sani yang tidak memperdulikan kami. Disana selain kami berempat ada Sigit, Sani, dan Freden yang mendampingi kami. Akhirnya dengan ditinggal oleh Sigit dan Sani, kami pun berdoa dan jalan kaki ke pertigaan Grande Dago menyusul 2 kakak kami tersebut. Di sana kami menunggu bus Damri Leuwi Panjang-Dipati Ukur untuk kami tumpangi ke Leuwi Panjang. Setelah menikmati es krim durian, bus pun datang dan kami menumpang bus tersebut.
Dengan ongkos dua ribu hingga Leuwi Panjang, kami turun di terminal Leuwi Panjang dan berganti bus yang langsung menuju Padalarang. Saya lupa berapa ongkosnya, yang saya ingat hanyalah hampir semua dari kami tertidur dan tiba-tiba kami dibangunkan oleh Sigit dan Sani ketika sampai di Citatah.
Turun dari bus, awan sudah menunjukan senja di depan kami. Kami pun langsung melangkah ke atas, ke basecamp yang biasa menjadi tempat kami beristirahat. Sampai di basecamp kami langsung beberes tempat kami, membakar sarang semut merah yang mengganggu kami, dan mencari dahan-dahan untuk kami pakai sebagai api unggun malam harinya. Dan kemudian karena kami tidak bisa memulai pemanjataan saat itu, kami hanya menghabiskan waktu dengan ngobrol-ngobrol dan membantu teman kami, Budi yang mengurusi perlengkapan manjatnya.

Malam hari, karena saya ada urusan di kampus saya harus pergi kembali ke kampus, dan berjanji untuk kembali ke Citatah keesokan harinya bersama Inda. Inda berencana pulang dulu keesokan harinya karena harus survey acara KMK ke Ciater. Jam 10 malam saya kembali ke Bandung menggunakan bus yang sama seperti keberangkatan. Malam hari saya sampai di kos, dan membereskan tugas akhir Teknik Presentasi dan Komunikasi (Tekpres) Planologi, tugas yang sangat penting untuk saya kerjakan. Dan malam itu saya tidak tidur untuk menyelesaikannya.
Minggu, 23 Mei 2010, saya ke kampus untuk mengurusi acara SATU dari fakultas saya SAPPK. Kami mengundang anak-anak panti asuhan, ini adalah bentuk bakti sosial kami kepada masyarakat. Saya di acara tersebut berperan sebagai stage manager. Di tempat lain, Winda dan Inda juga kembali ke Bandung. Acara SATU baru selesai sore menjelang malam hari, dan saya belum menyelesaikan tugas Tekpres walaupun sudah tidur malam sebelumnya. Sebelumnya saya tidak ingin ikut menggabungkan tugas Tekpres itu, karena ini adalah tugas kelompok jadi perlu disatukan. Namun karena saya adalah ketua kelompoknya, jadi saya merasa saya harus ikut, akhirnya saya menghubungi Inda untuk bilang kalau saya tidak bisa kembali hari itu ke Citatah. Ternyata Inda juga baru balik dari Ciater dan berencana baru Senin akan kembali ke Citatah karena di kecapaian. Akhirnya kami berdua merencanakan kemabali ke Citatah hari Senin malam. Dan saya kembali berkutat dengan tugas Tekpres, tidak tidur menyelesaikan tugas. Saya dan teman sekelompok Tekpres non-stop mengerjakan tugas dari jam 8 malam hari Minggu hingga jam 2 siang hari Senin. Setelah itu langsung mengumpulkan tugas kami ke kampus jam 3 siang. Setelah itu, saya baru tidur di CC Barat setelah 2 hari tidak tidur hingga malam harinya.
Malam harinya, saya baru terbangun dan terkejutkan noleh telpon dari Inda yang meminta saya segera ke sel. Akhirnya saya ke sel langsung segera ditelpon. Ternyata di sana ada Inda dan Winda, dan Inda menceritakan kepada kami bahwa ia kesal dengan Mas Sigit yang katanya marah kepadanya. Segera kami bertiga langsung sms Freden yang masih ada di Citatah bahwa kami akan berangkat malam itu juga ke Citatah. Kami mencoba menghubungi Jesica untuk mengajak ia ikut ke Citatah bersama kami, dan belanja makanan untuk kami santap hingga keesokan harinya. Namun Jesica tidak bisa dihubungi. Langsung pukul 19.30 kami berangkat ke Citatah naik mobil Winda. Selama satu jam kira-kira kami sampai di Citatah, dan di sepanjang perjalanan kami bertiga berbincang tentang masalah di GL XIX RC.
Sesampai di Citatah dan sesampai di basecamp, kami menunggu Freden. Freden datang dan menyuruh kami ke bawah tebing untuk ngobrol-ngobrol. Kami berempat berbincang sebelum akhirnya Bli Bayu pun dating bergabung dengan kami. Tampak dari wajahnya bahwa Freden kesal kepada kami, dia kesal kepada saya dan Inda yang ingkar janji bahwa akan datang hari sebelumnya. Setelah kami berbicara panjang lebar, bahwa kami tidak datang karena alasan yang kuat, akhirnya dia bisa mengerti. Kami juga membicarakan secara terbuka masalah-masalah di GL angkatan kami. Dia meminta kami untuk tetap semangat untuk latihan RC.
Saat itu saya sangat capai karena belum tidur selama 2 malam. Akhirnya kami membuat jadwal kegiatan untuk keesokan harinya, yaitu bangun jam setengah 6 pagi langsung olahraga, Freden mengajari saya teknik pemasangan alat di tebing sampai pukul 10 pagi, dan dilanjutkan dengan pemanjatan. Namun mala mini saya diharuskan tidur agar segar keesokan harinya.
Selasa, 25 Mei 2010, pukul 05.30 pagi, kami bangun dengan terpaksa karena masih ngantuk. Kami langsung olahraga pagi keliling desa. Setelah olahraga, Inda dan Winda membuat sarapan untuk kami, sedangkan saya diajari secara privat oleh Freden tentang pemasangan alat. Saya diajari privat hari itu karena selama ini saya tidak ikut latihan-latihan RC karena kesibukan lain. Setelah belajar pemasangan alat, yang sempat ada insiden saya dan Freden jatuh 2 meter dan berguling-guling di tanah, kami melanjutkan dengan pemasangan alat dengan artificial secara horizontal. Setelah selesai hingga pukul 10 pagi kami makan siang. Ternyata Freden masih memberi saya PR untuk melakukan artificial hingga goa 25 meter secara vertikal. Saat itu badan saya sangat lemas mungkin karena kecapaian hari-hari sebelumnya, namun saya paksakan saja. Lalu saya naik vertikal dengan susah payah setinggi 25 meter hingga goa. Treamor saya kambuh dengan parah, saya sempat bilang ke Freden kalau saya sangat tidak yakin bisa ngetop hari itu karena kondisi fisik saya yang lemah. Namun saya terus disemangati oleh Freden, dan mengurungkan niat saya itu. Sesampai di goa ternyata saya masih harus memanjat seperti ninja di Cimenei, awalnya saya ragu apalagi setelah Freden bilang Dian pernah jatuh di sana. Tapi setelah nekat mencobanya, dan bisa, saya tidak percaya saya bisa naik hingga di step kedua setelah Cimenei, dan dari sana kami berdua rapling hingga ke bawah.
Sesampai di bawah kami dibriefing oleh Freden dan ormed jalur ke puncak. Sebelumnya saya sudah bilang ke Inda dan Winda kalau saya tidak yakin bisa ngetop saat itu, apalagi saya sudah lemas, mengantuk , dan treamor saya sedang parah-parahnya. Saya menanyakan apakah bisa diundur hingga keesokan harinya. Mereka mengerti kondisi saya, namun karena saya merasa tidak enak kalau tidak ngetop saat itu apalagi mereka sedang semangat-semangatnya, kami terus lanjut dengan posisi saya sebagai jumarer yang hanya membawa logistic saat memanjat.



Pemanjatan dimulai pukul setengah tiga sore, dengan estimasi waktu 21/2 samapai 3 jam hingga puncak. Dibuka dengan doa oleh Winda dan mohon doa dari Bli Bayu, kami memulai pemanjatan setelah goa 25 meter. Diawali dengan pemanjatan ninja oleh Winda sebagai leader di Cimenei, lalu saya sebagai jumarer dengan teknik SRT, dan terakhir Inda sebagai cleaner. Sesampai di atas kami diberikan pemandangan indah Padalarang dari atas yang sayangnya ditutupi oleh pabrik-pabrik kapur. Namun tak lama kami di sana, kami harus melanjutkan pemanjatan hingga ke puncak. Selama pemanjatan kami sebagai tim lebih santai dan tidak terburu-buru, karena kondisi saya yang kelelahan dan capai sekali. Bahkan saking kecapaiannya saya sempat tertidur ketika menunggu Winda sang leader yang sempat ormed di atas.
Ketika di bawah, kami dibriefing oleh Freden, dan diberikan teknis pemanjatan, yaitu: hingga pitch terakhir leader adalah Winda, cleaner Inda, dan saya sebagai jumarer. Namun setelah pitch terakhir setinggi 20 meter hingga puncak, leader adalah saya, dan Winda atau Inda diberikan kebebasan. Namun karena selama pemanjatan saya dan teman-teman melihat kondisi saya yang tidak begitu baik, saya meminta kepada mereka agar leader terakhir jangan saya. Dan mereka menyanggupi walau saya merasa tidak enak. Sekitar pukul 17.00 sore kami tiba di pitch terakhir, dimana dari sana kami bisa memanggil Bli Bayu dan Freden yang terlihat sangat jauh di bawah dekat mobil Winda.
Di pitch terakhir, 20 meter dari puncak kami sudah bisa melihat puncak dari sana, dan tebing yang sudah menantang kami di depan. Setelah itu, Winda dan Inda meyakinkan saya bahwa saya pasti bisa melead mereka berdua. Sebenarnya saya sudah mengatakan kalau saya tidak sanggup, namun karena semangat dari mereka berdua sungguh meyakinkan saya yang lemah ini. Dan diputuskan saya akan menjadi leader, dengan cleaner Winda, dan Inda sebagai jumarer. Ketika kami duduk bersama bertiga untuk berganti perlengkapan, kami sempat mengobrol banyak. Kami merasa senang dapat memanjat puncak Citatah 125 m bertiga, karena selama ini kami tidak pernah pergi bertiga, dan kami merasa sangat senang dan tersemangatkan apabila kami bertiga berkumpul dan latihan bersama. Apalagi ini adalah latihan pertama kami dapat bertiga bersama, setelah 2 bulan tidak latihan karena kesibukan masing-masing. Jadi kami sangat senang waktu itu.
Pukul 17.30 kami memulai pemanjatan di pitch terakhir hingga puncak. Semula tidak ada hambatan yang berarti dan saya masih merasa kuat untuk melanjutkan pemanjatan 20 meter terakhir. Apalagi Freden, Bli Bayu, Enda, istri Mang Enda, dan Budi sudah terlihat memanggil-manggil kmai dari atas.
Setelah 3/5 tambatan (saya lupa) kondisi masih terang dan jalur masih mudah dilewati. Namun setelah itu, tiba-tiba suasana Citatah menjadi gelap mendadak karena menjelang magrib. Jalur sudah gelap, saya tidak bisa melihaty jalur yang ada, bahkan Freden membantu penerangan dengan senter yang dia bawa. Memang satu safety procedure ini terlupakan oleh kami sebab estimasi waktu kami selesai pukul jam 17.00. Seharusnya saat itu saya berhenti sejenak, namun entah mengapa safety procedure kembali saya lupakan. Saya memasang tambatan paku phyton agar lebih kuat. Setelah gelap itu, saya sempat memasang dua phyton di tebing dan saya merasa yakin akan kuat menahan kami. Lalu saya kesulitan di satu titik dimana tidak ada pegangan yang dapat saya raih. Saya cukup lama di sana, sekitar 5-10 menit mencari jalur yang cukup mudah untuk kami lewati. Saya sempat bertanya kepada Freden, “Bang lewat mana nih? Susah banget?” “Sudah pot, lanjut aja ke atas! Ayo cepat!” begitu kata Bang Freden. Namun apa daya, saya mencari dan tidak ketemu pegangan apapun. Di saat itu saya sungguh merasa capai dan ngantuk sekali, bahkan treamor saya kembali kambuh dengan parahnya. Akhirnya, “Bang, istirahat dulu ya?” kata saya dan diiyakan oleh Bang Freden. Akhirnya saya memberi kode kepada Winda belayer saya. Dan saya melepaskan pegangan untuk nantinya tertambat di phyton saya.
Setelah itu saya mengalami blank selama kurang lebih 5-10 detik. Rupanya saya jatuh saat itu, phyton saya copot dua. Katanya saya selama 3 detik jatuh dan 2 kali menabrak dinding dengan keras. Saat itu saya mengalami blank, namun setelah itu saya sadar kembali. Saya merasa kalau saya dipull oleh Winda hingga kaki saya menyentuh tanah. Namun entah mengapa, saya merasa tidak kuat dan langsung jatuh. Saya tidak merasa sakit apa-apa, bahkan saya sadar 100%. Saya melihat Winda dan Inda yang terdiam, mereka menyenter-nyenter ke arah saya dengan muka takut mereka, saya ingat senior-senior saya turun mengevakuasi saya, diajak ngobrol oleh mereka dan saya berusaha dengan susah payah menjawab mereka, bahkan pengalaman terburuk saya, saya alami saat itu. Saya sadar ketika saya kejang-kejang. Badan saya gerak-gerak sendiri, namun saya tidak dapat menghentikannya. Bahkan sampai Enda yang waktu itu ada di sebelah saya berkata astagfirullah saya ingat, namun saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya sadar hingga saya diangkat dievakuasi ke atas, namun sayangnya setelah itu saya tidak sadarkan diri. Saya baru sadar ketika saya terbangun di ruang ICU rumah sakit dengan anak-anak KMPA ramai di sebelah saya, ada dokter berbaju tentara, dan kedua orang tua saya.
Rupanya saya dievakuasi ke rumah sakit Cahya Kawaluyan Padalarang. Saya mengalami pendarahan kepala sehingga kepala saya berisi sepertiga darah, dan mesti dioperasi saat itu juga, katanya kalo telat satu jam mungkin saya akan meninggal. Selain itu paha saya juga robek dan tulang selangka saya patah hingga sekarang.
Namun pelajaran yang saya ambil, saya akan terus bersama KMPA dan tidak akan pergi, seperti yang teman-teman saya tanyakan pada saya, “Pot, kok lo masih mau ikut KMPA?” Namun justru saya semakin merasa bersalah, tidak enak, dan berhutang budi oleh keluarga saya KMPA. Bila tidak ada mereka yang menyelamatkan dan membantu saya, pasti saya tidak dapat bersama mereka lagi sekarang.
Selain itu tidak lupa, jangan melupakan safety procedure yang ada! Kalo merasa tidak yakin lebih baik jangan anda lakukan karena akan membahayakan diri anda dan teman-teman yang bersama anda. Dari pengalaman ini saya dapat belajar banyak, dan juga teman-teman saya. Sayangnya saya tidak dapat berkontribusi banyak di perjalanan evaluasi akhir bersama teman-teman GL XIX RC saya ke Gunung Kelud. Saya sungguh kecewa, dan saya bertekad cepat sembuh dan jalan-jalan bersama mereka lagi. Untuk perjalanan akhir ini, saya tetap bertekad membantu sepenuh hati, karena saya adalah tanggung jawab mereka, dan mereka adalah tanggung jawab saya. Teman-teman adalah obat untuk segalanya.
Citatah 125 m, Padalarang, 25 Mei 2010

Bandung, 31 Agustus 2010
Gabriel Efod Virant Pangkerego
GM-013-XIX

2 komentar:

Yasir Muzayan mengatakan...

yang ini bagus...

masukitb mengatakan...

Halo,

Salam kenal. Kami suka dengan tema tulisan kamu tentang pengalaman merasa pernah salah jurusan di ITB.

Begini, LPM ITB sedang membuat situs antarmuka untuk menjembatani mahasiswa- alumni ITB, dengan siswa SMU dari seluruh Indonesia, yang berminat ke ITB, untuk bisa bertukar informasi. Tujuannya, adalah untuk mengurangi kasus “salah pilih jurusan” sebelum memutuskan masuk ke ITB, juga membuat siswa SMU mengenal lebih dekat kehidupan mahasiswa ITB, dengan harapan, mereka bisa mengoptimalkan waktu belajarnya di kampus.

Kalau Kamu bersedia, silakan berkunjung, berdiskusi, berbagi, dan jangan lupa untuk menjawab keingintahuan siswa- siswa SMU dari seluruh Indonesia, tentang ITB.

Oh iya, tulisan ini juga bisa lho, kalau mau diposting

Regards,

Layanan Produksi Multimedia ITB
http://www.masukitb.com
http://multimedia.itb.ac.id